Antara Ketakutan dan Nilai Pendidikan

  • 12:03 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Belakangan ini, publik dihebohkan oleh video viral Dedi Mulyadi yang rupanya digunakan oleh sejumlah orang tua sebagai ‘alat taktik’ untuk menakuti anaknya yang malas makan, susah tidur, nakal, atau kecanduan gawai. “Awas nanti dipanggil Pak Dedi,” menjadi kalimat yang seolah-olah ampuh meredam kenakalan anak. Tapi benarkah cara ini sehat untuk tumbuh kembang mental mereka?

Dulu saat waktu kecil, saya juga mengalami hal yang sama. Adalah Awi namanya yang kalau ketemu saya selalu menakut-nakuti baik dengan kata-kata atau gestur. Tentu saja sebagai anak kecil, saya takut dan merasa tertekan, sehingga setiap disebut nama Awi saya lari. Bagi saya nama itu adalah sosok yang menakutkan.

Untungnya, kondisi seperti tidak berlangsung lama karena kakak saya mengingatkan Awi untuk tidak menakut-nakuti adiknya. Meski begitu, saya masih merasa takut jika dipanggil Awi. Saya tidak tahu sekarang bagaimana kabarnya dan di mana tinggalnya Awi itu, apa masih hidup atau wafat.

Menurut psikolog, jika seorang anak tumbuh dalam ketakutan, maka kelak ia akan kehilangan keberanian untuk menyampaikan gagasan. Ia mungkin pintar, cerdas, bahkan penuh potensi—namun takut bersuara, takut salah, takut dimarahi. Padahal, dunia ini butuh generasi yang berani berpikir dan menyampaikan ide.

Sebagai sebuah strategi sesaat, menakut-nakuti anak kadang memang berhasil dan diperlukan. Anak langsung menurut, tidak rewel, dan tampak “terkontrol.” Tapi jika metode ini menjadi pola tetap dalam mendidik, maka risikonya sangat besar. Pendidikan yang dibangun atas dasar ketakutan dapat membentuk anak pasif, tidak percaya diri, dan selalu merasa bersalah saat mengeksplorasi sesuatu. Ia akan belajar bahwa “patuh” adalah satu-satunya cara untuk disayang, bukan “berpikir dan berbicara.”

Ketakutan bukanlah fondasi yang baik untuk karakter. Anak-anak butuh rasa aman agar otaknya berkembang optimal, agar ia bisa belajar dengan tenang, bertanya tanpa malu, dan mengekspresikan ide tanpa takut dimarahi. Ketika mereka hidup dalam ancaman terus-menerus, otaknya justru berada dalam mode siaga (fight or flight), sehingga proses belajar menjadi terganggu, bahkan terhambat.

Tentu, bukan berarti kita tak boleh memberi efek jera. Tapi pendekatannya sebaiknya bersifat sementara, dan disampaikan dengan komunikasi yang sehat. Bukan dengan menciptakan sosok menakutkan atau memperpanjang suasana ancaman. Orang tua adalah tempat berlindung pertama anak, bukan sumber ketakutan utama mereka.

Mari kita jaga masa depan anak-anak dengan menghadirkan pendidikan yang penuh cinta, boleh tegas tapi tidak mengintimidasi. Mereka bukan hanya butuh tahu apa yang salah, tapi juga butuh diajari bagaimana memperbaikinya—tanpa harus merasa selalu berdosa hanya karena menjadi anak-anak.

Anak yang merasa aman akan tumbuh menjadi pribadi yang berani. Dan keberanian adalah bahan bakar utama bagi generasi pembaharu.

Bone 12 Mei 2025

Barsihannor