Dam Tamattu di Indonesia Saja

  • 11:15 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Tahun 2001 saya bersama istri menunaikan ibadah haji. Karena kami berada di gelombang pertama, maka umumnya jemaah mengambil haji tamattu. Konsekuensinya tentu kami harus membayar dam (menyembelih hewan) seharga 350 riyal atau serata kurang lebih 1.5 juta rupiah/orang.

Kami pun dibawa ke sebuah tempat pemotongan. Saya saksikan begitu banyak kambing atau onta yang dipotong. Terlintas di kepala saya, mau dikemanakan daging sebanyak itu? Ada yang bilang itu dikalengkan lalu dibagi. Ada yang bilang dibagi di sekitar tanah haram, dan lain-lain.

Di sisi lain, sayup-sayup saya mendengar adanya oknum yang berbisnis DAM ini. Konon jika bisa menangani bisnis ini, dipastikan bisa ke tanah suci berulang-ulang dengan memanfaatkan dana hasil dari bisnis dam ini.

Ahhh... sudahlah itu memang cerita masa lalu saat saya berhaji. Saat ini saya memikirkan bagaimana efektivitas distribusi daging dam itu dengan mengkaji aspek hukum.

*Kemaslahatan Umat*

Islam diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Seluruh hukum di dalamnya, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah, tak lain ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dalam khazanah keilmuan Islam, dikenal istilah maqashid syari'ah—tujuan-tujuan syariat—yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka setiap hukum yang ditegakkan, hakikatnya menjawab kebutuhan zaman dan menjaga nilai-nilai dasar tersebut.

Salah satu bentuk pelaksanaan syariat dalam ibadah haji adalah pelunasan dam tamattu’—denda yang dikenakan bagi mereka yang mengambil haji tamattu' atau qiran. Selama ini, pelaksanaan dam dilakukan di Tanah Suci, mengikuti pendapat mayoritas ulama dan praktik para jemaah sejak masa awal Islam. Hewan disembelih di Makkah atau sekitarnya, dan dagingnya dibagikan kepada kaum miskin di sana.

Namun, realitas dunia telah berubah. Jumlah jemaah haji hari ini bukan lagi ribuan, melainkan jutaan. Jumlah orang miskin di Makkah juga jauh berkurang dibanding negara-negara asal para jemaah, termasuk Indonesia. Maka timbul pertanyaan: apakah kemaslahatan dari dam masih tercapai jika dagingnya sulit menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan?

Fleksibilitas hukum Islam membuka ruang bagi para ulama dan pemerintah untuk menyesuaikan penerapan hukum dengan kondisi aktual. Ketika Nabi Muhammad SAW menyebut bahwa dam disembelih di Makkah, konteks saat itu memungkinkan penyaluran daging secara efektif kepada warga miskin di wilayah tersebut. Namun kini, distribusi daging hewan di Tanah Suci berpotensi tidak tepat sasaran, bahkan tak jarang hewan yang disembelih tak dimanfaatkan secara maksimal.

Di sinilah muncul gagasan: bagaimana jika dam tamattu’ dilaksanakan di Indonesia saja? Di mana hewan disembelih di tanah air dan dagingnya diberikan kepada kaum dhuafa yang jumlahnya jauh lebih banyak dan lebih membutuhkan?

Wacana ini kini mulai dipertimbangkan oleh Kementerian Agama. Menteri Agama menggandeng Majelis Ulama Indonesia untuk mengkaji ulang fatwa yang ada, agar ada reinterpretasi hukum yang tetap sesuai dengan maqashid syari’ah. Gagasan ini tentu belum menjadi kebijakan. Masih perlu pembahasan mendalam, regulasi teknis, dan sistem pelaksanaan yang rapi agar tak mengurangi kekhusyukan ibadah maupun keabsahan hukum syar’i.

Namun satu hal yang pasti: ketika hukum Islam dibaca dengan jernih dan diterapkan dengan bijak, maka ia akan selalu relevan, menjawab tantangan zaman, dan memberi maslahat seluas-luasnya.

Sungguminasa 9 Mei 2025