Ekonomi Sulit, Gaya Hidup Elit

  • 01:16 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Di tengah riuhnya dunia maya, muncul seorang remaja Gen-Z bernama Aura. Dengan berani, ia melayangkan protes kepada Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Aura merasa kebijakan melarang studi tour dan wisuda itu terlalu keras. Katanya, kenangan indah tak bisa hanya lahir dari hari-hari biasa di sekolah. Butuh perpisahan, butuh perjalanan, butuh momen istimewa untuk menandai akhir perjuangan.

Tapi Kang Dedi punya sudut pandang lain. Menurutnya, memori yang paling berharga justru tercipta dari hal-hal sederhana: sahabat sebangku, guru yang marah tapi sayang, atau jam istirahat yang terasa terlalu singkat. Bukan dari foto berbingkai emas atau pesta perpisahan mewah.

Karena sejatinya, kenangan itu dibangun oleh rasa, bukan oleh biaya.

Komentar pro-kontra menyeruak. Tapi menurut psikolog, kemampuan seseorang mengatur struktur kalimat dalam sebuah perbincangan atau perdebatan bukan indikator kecerdasan.

Terlepas apakah percakapan itu memang natural tanpa diskenario sebelumnya, atau memang ada skenario untuk sebuah konten dalam rangka mendidik masyarakat, yang jelas dialog itu merefleksikan adanya fenomena kehidupan masyarakat lebih mengutamakan kesenangan dan gaya hidup dari pada kebutuhan.

Fenomena Aura ini hanya sepotong kecil dari realita besar:

Ekonomi lagi sulit, tapi banyak yang masih memaksakan hidup ala elit.

Ada keluarga yang penghasilannya cukup pas-pasan, tapi tetap memaksa beli ponsel terbaru. Ada anak muda yang makannya sederhana, tapi bajunya harus bermerek. Ada juga yang lebih rela menunggak cicilan demi bisa pamer liburan di sosial media.

Kenapa begitu?

Karena takut dibilang ketinggalan. Takut dianggap 'gak gaul'. Takut jadi invisible di dunia yang serba pencitraan ini.

Akhirnya, kebutuhan ditinggalkan, keinginan dipuja-puja.

Padahal, itulah awal dari petaka:

Menggadaikan ketenangan demi gengsi.

Mengejar pujian, tapi kehilangan kedamaian.

Diseret utang, dipukul pinjol, dan perlahan diseret ke dalam jurang stres yang dalam.

Mungkin perlu kita renungkan bahwa hidup ini seperti air yang mengalir, bukan seperti badai yang mengamuk karena keinginan.

Penuhi dulu kebutuhan, baru pikirkan keinginan, karena bahagia itu bukan soal terlihat keren,

tapi soal hati yang merasa cukup, meski sederhana.

Jangan biarkan hidupmu dikendalikan oleh apa kata orang,

biarlah kebutuhan menjadi nahkoda,

dan syukur menjadi pelabuhan.

Sungguminasa 28 April 2025