Walid-Walid; Refleksi dari Lelucon Kelas hingga Kritik Kolektif atas Simbol Agama

  • 01:26 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Setiap kali saya menyebut nama “Walid” di dalam kelas, para mahasiswa saya refleks tertawa atau setidaknya tersenyum. Bukan karena mereka tak menghormati pelajaran, tetapi karena nama itu kini telah menjadi ikon komedi kolektif, berkat serial Bidaah yang tengah viral dan menyentuh jutaan penonton. Namun di balik gelak tawa itu, ada sesuatu yang lebih dalam sedang diperbincangkan: bagaimana agama bisa diselewengkan, dikomodifikasi, dan dijadikan alat untuk kepentingan segelintir pihak.

Serial Bidaah, karya Pali Yahya dan Eirma Fatima, bukan sekadar drama religi. Ia adalah satir tajam terhadap jebakan keberagamaan—terutama ketika agama menjelma menjadi panggung simbol dan personalisasi kekuasaan. Tokoh Walid Muhammad Mahdi Ilman, pemimpin fiktif kelompok Jihad Ummah, adalah cerminan dari figur kharismatik yang memanfaatkan kehausan spiritual masyarakat. Kalimatnya yang viral, “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid,” kini tak hanya menjadi parodi, tapi juga semacam sindiran terhadap bagaimana umat bisa lebih tunduk pada wajah tokoh daripada pada substansi ajaran.

Bidaah menyentil persoalan-persoalan serupa: bagaimana kekuatan simbol bisa membungkam nalar. Bagaimana manusia bisa lebih percaya pada kostum daripada isi, pada gelar daripada akhlak, pada kultus daripada kebenaran. Tokoh Hambali dan Baiduri, yang sadar dan melawan penyimpangan ajaran Walid, mewakili pentingnya pendidikan agama yang tidak hanya tekstual, tapi kontekstual—yang tidak hanya menghafal, tapi juga mempertanyakan.

Menariknya, yang membuat serial ini lebih menggugah adalah respons publik. Meme dan video parodi bermunculan, memperlihatkan bahwa masyarakat tidak sepenuhnya pasif. Mereka tertawa, tapi tawa itu menyimpan kesadaran. Terkadang edukasi memang lebih efektif disampaikan lewat satir. Dan dalam era digital seperti sekarang, viralitas bisa menjadi media reflektif. Kita tertawa bukan karena kebodohan itu lucu, tapi karena kita akhirnya sadar—bahwa selama ini mungkin kita ikut terjebak.

Bidaah bukan sekadar tontonan. Ia adalah cermin. Bahwa iman yang sehat tidak tunduk pada simbol, tapi dibangun dari pemahaman dan keberanian berpikir. Bahwa agama tidak membutuhkan panggung, tapi ketulusan. Bahwa dalam menyembah Tuhan, kita harus berani bertanya: apakah yang kita sembah adalah Tuhan, atau hanya representasi Tuhan yang disulap oleh manusia?

Saat ini berkeliaran parodi Walid di media sosialnya. TikTok misalnya membuktikan dirinya bukan cuma tempat joget-joget, informasi dan lain-lain, tapi juga lahan subur buat kreativitas absurd yang menghibur. Salah satunya: Parodi Walid.

Ada yang bertanya ke saya siapa itu Walid? Saya bilang lihat saja filmnya. Mukanya serius, kata-katanya meyakinkan, tapi isinya... kadang lebih ngelantur dari sinetron jam 10 pagi. Maka hadirlah netizen budiman yang menjadikannya bahan parodi.

Ada yang akting seperti ustadz galak tapi ngomongin cilok, ada yang pakai filter cambang tapi curhat gagal diet, semua dibungkus dengan gaya "Walid-style": tegas, agak mengancam, tapi nggak bisa dibenci.

Intinya, parodi Walid ini bukti bahwa netizen kita punya bakat komedi yang bisa nandingin stand-up show.

Maka, ketika mahasiswa saya tersenyum saat nama Walid disebut, saya biarkan saja. Karena di balik senyum itu, saya tahu: mereka sedang berpikir dan pikiran menerawang membayang wajah Walid.

Sungguminasa 25 April 2025