Judul ini terinspirasi oleh orasi Guru Besar Prof. Dr. Hj. Rika Dwi Ayu Parmitasari, SE, MBA, M.Comm, Rabu 17 April yang lalu. Dengan sangat menarik dia mengulas hijrah pelaku keuangan di era digital. Hemat saya orasi ini sangat aktual karena membincang kondisi aktual yang saat ini melanda kehidupan masyarakat.
Pada salah satu segmen orasinya, Prof. Rika mengkritisi karakter generasi milenial dan Z yang lebih berorientasi hidup kekinian dan mengabaikan hal-hal yang terjadi di masa mendatang. Paradigma hidup seperti ini dikenal denga YOLO (you only live once) yang mendorong generasi ini untuk memanipulasi kemudahan dalam transaksi keuangan dengan istilah "beli sekarang bayar nanti". Menurutnya, pengeluaran yang tidak direncanakan dan berlebihan menjadikan pengelolaan keuangan tidak bermuara terhadap kebutuhan keuangan masa depan demi mengajar kesenangan sesaat. Tabel keinginan lebih besar dari tabel kebutuhan sebagai efek dari orientasi"status" agar selalu up-to-date, tidak ketinggalan info, sehingga syahwat keinginan harus terus dipenuhi tanpa melihat kebutuhan. Generasi Z kawatir merasa ketinggalan yang dikenal dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out)
Tentu saja di dalam edisi tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mengulas ulang atau mengkritisi tulisan Prof. Rika. Saya hanya ingin ulasan terkait istilah hedonic treadmill tersebut.
Hedonic treadmill merupakan kondisi psikologis yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk kembali ke tingkat kebahagiaan awal, tak peduli seberapa besar perubahan positif atau negatif yang dialami dalam hidupnya.
Dalam konteks keuangan, ketika seseorang mendapatkan kemudahan finansial atau peningkatan pendapatan, ia akan segera menyesuaikan gaya hidupnya sehingga kebahagiaan yang dirasakannya hanya bersifat sementara. Alhasil, ia terus "berlari di tempat" dalam mengejar kebahagiaan material, tanpa pernah benar-benar mencapainya.
Fenomena sistem keuangan digital yang serba mudah—seperti paylater, kredit online instan, dan e-wallet—membuat banyak orang terjerat dalam lingkaran konsumsi tanpa sadar. Kemudahan ini mendorong perilaku impulsif, mempercepat siklus konsumsi, dan memperkuat efek hedonic treadmill. Seseorang membeli barang karena tergiur diskon, bukan karena kebutuhan. Begitu kepuasan dari pembelian itu hilang, ia terdorong untuk membeli lagi, terus-menerus.
Dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat modern, pengaruh hedonic treadmill sangat terasa, terutama melalui media sosial dan budaya konsumsi. Kita hidup di tengah masyarakat yang menilai status seseorang bukan lagi dari kontribusinya, tetapi dari apa yang ditampilkan—gadget terbaru, pakaian bermerek, liburan mewah, atau kendaraan mahal. Fenomena ini memperkuat tekanan sosial untuk terus meningkatkan standar hidup, meski tak selalu diiringi oleh kemampuan riil.
Contohnya, dalam budaya pesta pernikahan atau perayaan keluarga di sebagian masyarakat, sering kali terjadi “lomba gengsi”. Orang merasa harus tampil mewah demi status sosial, bahkan jika harus berutang. Begitu juga dalam budaya hadiah Lebaran, kado ulang tahun anak, atau arisan sosialita. Semua terjebak dalam siklus “beli-untuk-dilihat”, bukan “beli-untuk-hidup”.
Dengan demikian, hijrah yang sejati mengajak kita keluar dari jebakan hedonic treadmill, berhenti berlari demi ilusi kebahagiaan, dan mulai berjalan dalam kesadaran bahwa hidup ini adalah amanah yang harus dijaga dalam kefitrahannya.
Sungguminasa 18 April 2025
Barsihannor