Tulisan saya kali ini merespon coretan Prof. Hamdan yang mengajukan pertanyaan delimatis;
Mana yang lebih utama antara fisik, visi dan values?
Ia mengilustrasikannya melalui tiga tokoh hipotetis:
Si A memiliki kekuatan finansial dan kecerdasan manajerial, tetapi tanpa nilai moral yang kuat.
Si B memiliki visi luar biasa dan integritas tinggi, tetapi kekurangan sumber daya material.
Si C memiliki kekayaan berlimpah dan empati sosial, tetapi kurang memiliki wawasan strategis.
Untuk mengulas tiga pilihan di atas diperlukan paradigma terminologi untuk menuntun kita membuat roadmap jawaban atas pertanyaan di atas.
Konsep dan terminologi dalam kehidupan selalu mengalami pergeseran makna seiring perubahan zaman. Dulu, ikhlas berarti bekerja tanpa pamrih, sebuah ketulusan tanpa berharap balasan. Namun, kini ada pemahaman bahwa justru dengan mendapatkan upah, seseorang bisa bekerja lebih ikhlas karena kebutuhan hidupnya terpenuhi, sehingga ia lebih fokus dan optimal dalam berkarya. Perubahan paradigma seperti ini terjadi di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam memahami nilai kepemimpinan dan kesuksesan.
Dalam sejarah, Nabi Sulaiman AS pernah dihadapkan pada pilihan antara ilmu, kekuasaan, atau harta. Ia memilih ilmu, dan dengan itu, ia memperoleh segalanya—kekuasaan, kemakmuran, dan pengaruh. Ilmu menjadi fondasi utama dalam membangun kejayaan. Namun, di era sekarang, banyak orang percaya bahwa duit adalah segalanya. Dengan uang, seseorang bisa membeli akses ke pendidikan, kekuasaan, dan bahkan pengaruh. Lalu, bagaimana kita menyeimbangkan paradigma ini dalam memahami kepemimpinan dan perubahan sosial?
Dari ketiga tokoh ini, siapa yang paling layak menjadi pemimpin? Jika kita merujuk pada paradigma lama, seseorang seperti Si B—yang memiliki visi dan karakter—akan menjadi pilihan utama, sebagaimana Nabi Sulaiman memilih ilmu. Namun, dalam realitas modern, tanpa dukungan sumber daya finansial dan kekuatan fisik, visi besar bisa terhambat.
Oleh karena itu, paradigma baru yang lebih realistis tidak bisa hanya mengandalkan satu faktor saja. Dunia saat ini lebih menuntut pendekatan pragmatis: visi tetap penting, tetapi tanpa kekuatan finansial dan jaringan, visi sulit terwujud.
Paradigma Baru: Bukan 1+2=3, Tapi 3 → 1+2
Dalam tulisan tersebut, dikatakan bahwa tanpa value (angka 3), fisik dan visi tidak berarti apa-apa. Namun, bisa juga kita melihatnya dari perspektif berbeda: tanpa fisik dan sumber daya (1) serta visi (2), nilai-nilai luhur (3) sulit diwujudkan dalam dunia nyata.
Jika Nabi Sulaiman dulu mendapatkan semuanya melalui ilmu, maka di zaman sekarang, banyak orang lebih memilih jalan pragmatis: mengumpulkan sumber daya dulu (uang, kekuasaan, akses), lalu membangun visi dan nilai. Bukan berarti nilai moral dikesampingkan, tetapi dalam praktiknya, seseorang yang memiliki nilai luhur tanpa daya untuk mewujudkannya akan tertinggal.
Maka, paradigma baru bukanlah 1+2=3, melainkan 3 harus dikombinasikan dengan 1 dan 2 secara simultan dan adaptif. Kepemimpinan dan pengaruh tidak bisa hanya dibangun dari visi atau nilai saja, tetapi juga butuh eksekusi nyata yang didukung sumber daya yang cukup.
Dalam redefinisi kepemimpinan, kita tidak bisa terpaku pada konsep idealis semata. Dunia nyata menuntut keseimbangan antara moralitas, visi, dan kekuatan material. Nabi Sulaiman memilih ilmu dan memperoleh segalanya, tetapi hari ini, banyak orang memilih kekuatan ekonomi untuk mendapatkan semuanya. Maka, tantangan kita adalah menjaga keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme, agar nilai-nilai luhur tetap bisa diterapkan secara efektif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Sungguminasa 25 Ramadan 1446 H