Agenda Efesiensi; Minimalisme dalam Kebersahajaan?

  • 10:06 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Siti Nurliani, seorang aktivis perempuan, penggiat filsafat, dan dosen yang juga mahasiswa saat saat S2 mengirimkan beberapa catatan penting kepada saya terkait kebijakan efesiensi anggaran. Dia mencoba meneropong masalah dari sisi filsafat minimalisme yang diperkenalkan oleh sejumlah tokoh pemikir dunia.

Nurliani  tertarik mengamati bagaimana manusia menjalani hidupnya. Sebagian mereka memilih untuk terus mengejar lebih banyak, sebagian lagi memilih untuk melepaskan. Ada yang mengisi hari-harinya dengan tumpukan ambisi dan kesibukan, lalu ada juga yang perlahan memisahkan diri dari riuhnya dunia, sembari mencari makna dalam kesunyian. Semakin kita menumpuk harta, benda, pengalaman, bahkan pencapaian, justru semakin sering kita merasa kosong. Seakan-akan dalam upaya untuk mengisi hidup, kita malah kehilangan esensi dari kehidupan itu sendiri.

Tren minimalisme, yang semakin populer hari ini, bukan sekadar gaya hidup, melainkan sebuah filosofi. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki lebih banyak, tetapi tentang memahami apa yang cukup. Dan sebenarnya, konsep ini bukan hal baru, karena dari zaman kuno hingga sekarang, banyak pemikir besar telah membahas apa pentingnya kesederhanaan. 

Untuk memperkuat agurmennya Nurliani mengutip Pemikiran Carl Jung, Arthur Schopenhauer, hingga Rabi'ah al-Adawiyah. Tiga tokoh dengan perspektif yang berbeda, tetapi bertemu dalam satu pemahaman, bahwa kesederhanaan bukanlah keterbatasan, melainkan kebebasan.

Mereka yang hidup minimalis sering kali bukan hanya membuang barang, tetapi juga membuang beban sosial yang tidak perlu. Mereka tidak lagi merasa harus mengikuti standar kesuksesan yang ditentukan orang lain. Mereka lebih menemukan kepuasan bukan dalam memiliki, tetapi dalam "menjadi."

Untuk merespon catatan di atas saya mencoba memberikan kritik sekaligus penguatan atas tulisannya.

Saya berpikir di balik konsepsi minimalisme yang tampak menjanjikan di era disrupsi ini, ada kekhawatiran yang mengintip tentang seberapa efektif konsep ini dapat direfleksikan dalam kehidupan?

Ataukah konsep ini hanya sebagai sebuah apolegitik-ketidakberdayaan atas sebuah beban hidup yang dihadapi.

Ada pertanyaan kritis yang perlu diurai tentang minimalisme: Apakah minimalisme ini kesederhanaan atau Kepompong yang menyempitkan?

Di era serba cepat ini, minimalisme muncul sebagai mantra baru. Hidup sederhana, menyingkirkan yang tak perlu, mengurangi beban. Dengan dinding putih bersih dan rak-rak kosong, minimalisme menjanjikan ketenangan dalam keterbatasan.

Namun, apakah kita benar-benar lebih bebas, atau justru terkurung dalam ruang yang semakin sempit?

Minimalisme seringkali dipuja sebagai pembebasan dari konsumerisme, tetapi di sisi lain, ia menjelma menjadi dogma baru. Bukan lagi tentang keseimbangan, melainkan kompetisi diam-diam: siapa yang bisa hidup dengan paling sedikit? Seakan kebahagiaan hanya bisa ditemukan dalam ruangan yang steril dan lemari yang nyaris kosong.

Minimalisme kadang melupakan realitas. Tidak semua orang memiliki kemewahan untuk "menyederhanakan" hidupnya. Bagi sebagian, bertahan hidup bukan soal memilah-milah benda, melainkan memastikan ada cukup untuk esok hari.

Kesederhanaan sejati bukanlah tentang jumlah barang yang kita miliki, melainkan tentang makna yang kita berikan pada setiap hal. Bukan tentang menghapus warna, tetapi tentang menemukan harmoni di antara keberagaman.

Jadi, apakah minimalisme benar-benar membebaskan? Atau hanya membuat kita terjebak dalam estetika kosong yang membatasi makna hidup itu sendiri? Perlu renungan mendalam lalu didiskusikan

Sungguminasa 17 Februari 2025