Dalam tradisi sufisme Islam, konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) memiliki kedudukan sentral sebagai asal mula penciptaan dan manifestasi cinta Ilahi. Para sufi meyakini bahwa Nur Muhammad adalah cahaya primordial yang pertama kali diciptakan Allah sebelum segala sesuatu ada. Konsep ini sering dikaitkan dengan doktrin Wujudiyyah (eksistensialisme dalam tasawuf) dan menjadi dasar bagi pemahaman tentang hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Salah satu metafora yang dapat menggambarkan kedinamisan Nur Muhammad adalah "Kepak Sayap Nur Muhammad", yang melambangkan penyebaran kasih sayang, ilmu, dan cahaya spiritual ke seluruh alam. Dalam perspektif sufisme, "kepakan sayap" ini dapat diartikan sebagai gerakan spiritual yang menuntun manusia dari kegelapan menuju cahaya hakiki.
Menurut banyak sufi, termasuk Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Ghazali, Nur Muhammad adalah rahasia Ilahi yang menjadi sumber segala keberadaan. Dalam pandangan mereka, cinta Ilahi (mahabbah) yang menciptakan alam semesta berawal dari manifestasi Nur Muhammad.
Ibnu Arabi dalam Fusus al-Hikam menyatakan bahwa "Cahaya Muhammad adalah refleksi sempurna dari cahaya Tuhan di alam semesta." Dengan kata lain, setiap entitas di alam semesta mengandung percikan dari Nur Muhammad yang menuntunnya kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan.
Dalam bahasa sufistik, Nur Muhammad adalah sumber cinta Ilahi yang menyebar ke seluruh alam, seperti sayap yang membentang dan menaungi segala sesuatu. Nur itu juga menjadi penanda spiritualitas. Sebagaimana burung mengepakkan sayapnya untuk terbang menuju tujuannya, manusia harus mengikuti cahaya Muhammad untuk mencapai Tuhan. Kepakan sayap ini juga menggambarkan perjalanan spiritual manusia yang harus melewati tahapan penyucian diri (tazkiyatun nafs) hingga mencapai hakikat.
Menurut Jalaluddin Rumi, cahaya ini tidak hanya sekadar simbol keberkahan, tetapi juga realitas yang hidup dalam diri setiap pencari Tuhan (salik). Dalam syairnya, Rumi berkata:
“Jika bukan karena Nur Muhammad, bagaimana kau bisa melihat cahaya di cermin hatimu?”
Artinya, tanpa keberadaan cahaya tersebut, manusia akan tetap terjebak dalam kebodohan dan keterasingan dari Tuhan.
Para sufi menekankan pentingnya melampaui hawa nafsu agar cahaya Nur Muhammad dalam diri seseorang dapat bersinar. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa nafs yang tidak dikendalikan akan menutupi cahaya Ilahi dalam hati manusia.
Dalam banyak tradisi mistik, kepakan sayap melambangkan kebebasan dan pencerahan. Beberapa tokoh sufi menggambarkan perjalanan spiritual manusia dengan analogi burung, misalnya Attar dalam "Mantiq at-Tayr" (Musyawarah Burung). Dalam kisah ini, burung-burung mencari raja mereka, Simurgh (lambang Tuhan). Hanya segelintir yang berhasil karena perjalanan menuju Tuhan memerlukan ketekunan dan pengorbanan.
Ibn Sina dalam Risalat at-Tayr menggambarkan jiwa manusia sebagai burung yang harus mengepakkan sayapnya agar bisa kembali ke asalnya, yaitu Tuhan.
Menghidupkan konsep kepak sayap Nur Muhammad dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan menebarkan Kasih Sayang, memahami bahwa setiap manusia adalah refleksi dari Nur Muhammad dan memperlakukan sesama dengan cinta dan kelembutan, meningkatkan kesadaran spiritual.
Kepak Sayap Nur Muhammad dalam perspektif sufisme adalah simbol dari perjalanan spiritual menuju Tuhan, yang harus dilakukan dengan cinta, ilmu, dan kesadaran. Nur Muhammad sebagai sumber cahaya Ilahi adalah petunjuk bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan spiritual.
Dalam kehidupan modern, konsep ini bisa diwujudkan dengan menebarkan kasih sayang, mencari ilmu dengan niat suci, dan menjalani kehidupan dengan kesadaran bahwa setiap langkah kita adalah bagian dari perjalanan kembali kepada Sang Maha Cahaya.
Sebagaimana burung yang mengepakkan sayapnya untuk mencapai ketinggian, manusia juga harus mengembangkan sayap spiritualnya agar dapat mendekat kepada Tuhan dengan cinta dan keikhlasan.
Mekkah Al-Mukarramah 3 Februari 2025