Epistemologi ketuhanan adalah salah satu tema penting dalam tradisi intelektual Islam, khususnya dalam karya-karya para sufi dan filsuf. Di antara tokoh yang memberikan kontribusi besar dalam tema ini adalah Ibn Arabi, seorang mistikus dan pemikir yang dikenal dengan konsep “wahdat al-wujud” atau kesatuan wujud. Ibn Arabi mengintegrasikan tasawuf dan filsafat dalam memahami hakikat Tuhan, hubungan-Nya dengan alam semesta, dan bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang-Nya.
Bagi Ibn Arabi, pengetahuan tentang Tuhan (‘ilm al-ilahiyyat) adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan, yang melampaui batasan akal dan logika. Ia memandang Tuhan sebagai Wujud Absolut (“al-wujud al-mutlaq”) yang menjadi sumber segala sesuatu. Dalam pandangan Ibn Arabi, untuk memahami Tuhan, manusia tidak cukup hanya mengandalkan akal, melainkan juga harus menggunakan hati (“al-qalb”) sebagai alat spiritual. Melalui hati yang suci, manusia dapat menerima “iluminasi ilahi” (“al-kashf”), yaitu bentuk pengetahuan intuitif yang diberikan langsung oleh Tuhan.
Pemikiran Ibn Arabi sering dikaitkan dengan doktrin wahdat al-wujud. Dalam doktrin ini, Ibn Arabi menjelaskan bahwa Tuhan adalah realitas mutlak yang meliputi segala sesuatu. Alam semesta adalah manifestasi atau tajalli (penampakan) dari Tuhan. Menurut Toshihiko Izutsu, seorang cendekiawan Jepang yang mendalami filsafat Islam, Ibn Arabi tidak sekadar berbicara tentang metafisika Tuhan, tetapi juga tentang cara manusia mengenal Tuhan melalui pengalaman langsung. Dalam hal ini, wahdat al-wujud menjadi kerangka epistemologis yang menjelaskan bahwa pengetahuan ketuhanan dicapai melalui penyatuan eksistensial antara subjek (manusia) dan objek (Tuhan).
Tasawuf adalah inti dari epistemologi Ibn Arabi. Dalam karya monumentalnya, Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga pengalaman spiritual. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh melalui proses belajar formal semata, tetapi melalui perjalanan ruhani yang mendalam, termasuk mujahadah (upaya spiritual) dan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).
Salah satu konsep penting dalam tasawuf Ibn Arabi adalah ma’rifah, yang berarti pengetahuan intuitif atau gnosis. Ibn Arabi membedakan antara ‘ilm (pengetahuan rasional) dan ma’rifah (pengetahuan intuitif). Menurutnya, ma’rifah hanya dapat dicapai oleh mereka yang mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah, dzikir, dan kontemplasi. Pengetahuan ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang Tuhan tetapi juga menghadirkan rasa cinta dan kagum yang mendalam kepada-Nya. Seperti yang diungkapkan Annemarie Schimmel, seorang ahli studi Islam, pengalaman mistik ini adalah bentuk tertinggi dari hubungan manusia dengan Tuhan.
Meskipun Ibn Arabi sering dianggap sebagai seorang sufi, ia juga menunjukkan pengaruh filsafat dalam pemikirannya. Ia memanfaatkan konsep-konsep metafisika dari filsuf-filsuf sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibn Sina, tetapi mengintegrasikannya ke dalam kerangka tasawuf. Salah satu konsep filsafat yang ia gunakan adalah hubungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (esensi). Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Wujud sejati, sementara segala sesuatu selain Tuhan hanya memiliki wujud yang bergantung kepada-Nya.
Pendekatan filsafat Ibn Arabi dapat dilihat dalam cara ia menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam semesta. Menurutnya, alam semesta adalah refleksi dari sifat-sifat Tuhan. Dalam terminologi Ibn Arabi, Tuhan dikenal melalui nama-nama-Nya yang indah (*asma’ al-husna*), yang termanifestasi dalam ciptaan-Nya. Henry Corbin, seorang sarjana filsafat Islam, menyebut bahwa Ibn Arabi memberikan dimensi ontologis pada tasawuf, di mana alam semesta dipandang sebagai cermin Tuhan. Dalam pandangan ini, manusia memiliki peran penting sebagai makhluk yang mampu mengenal Tuhan melalui refleksi tersebut.
Pemikiran Ibn Arabi telah menjadi subjek diskusi dan interpretasi oleh banyak tokoh. Al-Jili, seorang pemikir sufi, memperluas konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan menjelaskan bahwa manusia sempurna (*insan kamil*) adalah manifestasi tertinggi dari pengetahuan Tuhan. Sementara itu, Jalaluddin Rumi, meskipun tidak secara langsung mengacu pada Ibn Arabi, juga menekankan pentingnya pengalaman spiritual dalam memahami Tuhan. Rumi sering menggambarkan perjalanan manusia menuju Tuhan sebagai proses cinta yang transenden.
Di sisi lain, beberapa tokoh seperti Ibn Taymiyyah mengkritik pemikiran Ibn Arabi karena dianggap terlalu metaforis dan sulit dipahami oleh masyarakat awam. Namun, kritik ini tidak mengurangi pengaruh besar Ibn Arabi dalam tradisi intelektual Islam.
Epistemologi ketuhanan yang dikembangkan oleh Ibn Arabi menawarkan wawasan yang mendalam tentang cara manusia memahami hakikat Tuhan. Dalam dunia yang semakin rasional dan materialistik, pendekatan Ibn Arabi mengingatkan kita bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat dibatasi oleh logika atau ilmu empiris semata. Pengetahuan ini melibatkan dimensi spiritual yang menuntut kesucian hati dan kedekatan kepada Tuhan.
Menafsirkan dan memahami epistemologi ketuhanan seperti yang dirumuskan oleh Ibn Arabi menjadi semakin penting, terutama dalam konteks modern. Pendekatan ini membantu kita untuk tidak hanya mengenal Tuhan secara intelektual tetapi juga merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami epistemologi ketuhanan, manusia dapat menemukan makna yang lebih dalam dalam hubungan mereka dengan Tuhan, alam semesta, dan sesama manusia.
Sungguminasa 13 Desember 2024