Analogi Binatang dalam Dunia Politik

  • 01:11 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Kenapa kelalawar tidak mau keluar di siang hari? Konon suatu hari terjadi perlombaan lari antara kelompok burung (udara) dan tikus (darat). Kelompok kelalawar yang secara fisik memiliki kemiripan dengan kedua jenis binatang ini, pada awalnya tidak memihak kepada siapa-siapa, tetapi cenderung menunggu (wait and see) keadaan. Di saat perlombaan dimulai, tampak kelompok burung lebih cepat dan mendahului kelompok tikus. Melihat situasi menguntungkan ini, kelalawar memutuskan untuk bergabung kepada kelompok burung. Mereka menyatakan bahwa komunitas kelalawar memiliki kemiripan dengan burung karena memiliki sayap. Namun waktu perlombaan belum berakhir, kelompok burung tampak mulai lelah akibat diterpa angin, sehingga mulai ditinggalkan oleh kelompok tikus. Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, kelompok kelalawar mulai khawatir kalah. Mereka kemudian memutuskan memisahkan diri dari kelompok burung dan menyatakan berkoalisi  dengan kelompok tikus. Pada awalnya tikus tidak percaya terhadap i’tikad baik kelalawar, namun argumennya yang menyatakan kelalawar memiliki mulut yang mirip dengan tikus, akhirnya mampu juga meyakinkan kelompok ini.

Menjelang finish, tampak kelompok tikus ketinggalan. Tanda-tanda kelompok burung akan menjadi pemenang semakin tampak. Hal ini membuat kelompok kelalawar merasa khawatir. Akhirnya mereka meninggalkan kelompok tikus dan mencoba kembali bergabung dengan burung. Namun sayang, burung tidak mau lagi menerima kehadiran kelalawar karena sudah pernah berkhianat di dalam perjuangan.

Kelalawar merasa malu terhadap kejadian ini. Mereka akhirnya mengadakan kongres  dan memutuskan untuk tidak lagi keluar pada siang hari karena malu kepada burung,  tikus, juga kepada komunitas binatang lainnya. Analogi cerita kelalawar ini menggambarkan betapa situasi dan perilaku politik seringkali diperankan seperti itu. Orang tidak segan-segan berkhianat, dan bermuka dua hanya untuk memenuhi syahwat politiknya. 

Sensitifitas Simbol

Simbol memiliki sensitifitas yang sangat kuat dan jika masuk ke dalam wilayah agama, negara dan budaya. Di dalam ketiga institusi ini, simbol dipandang sebagai sesuatu yang sangat sakral dan dihargai, karena merupakan  kesepakatan luhur atas sebuah nilai yang dijunjung tinggi bersama. Oleh karena itu, masyarakat harus sedikit berhati-hati bermain-main dengan simbol-simbol di tiga wilayah ini. Masyarakat seharusnya tidak seenaknya menurunkan bendera merah putih (simbol kebesaran negara) atau mempermainkan simbol-simbol negara lainnya tanpa ada sebab atau ketentuan yang membolehkannya. Demikian juga simbol dalam agama dan budaya. Sebab efek dari semua ini, dapat berujung kepada munculnya kebencian, amarah dan fitnah yang dapat memicu konflik  di tengah–tengah masyarakat. 

Binatang sering dijadikan sebagai sebuah simbol alegoris dalam kehidupan manusia, baik dalam dimensi kebaikan maupun kejahatan. Ular misalnya menjadi simbol bagi dunia kedokteran, Kancil dianalogikan sebagai simbol binatang yang cerdik dan licik, Tikus  simbol perilaku korupsi,  sedangkan keledai disimbolkan sebagai binatang yang dungu/bodoh. 

Al-Quran juga biasa menganalogikan manusia dengan binatang. Di dalam Q.S.  Al-A’raf : 179, Allah berfirman: Dan kami penuhi neraka jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka memiliki hati, tetapi tidak mampu memahami ayat-ayat Allah, mereka memiliki telinga tetapi tidak sanggup mendengar, mereka punya mata tapi tidak dapat melihat, mereka itu seperti binatang, bahkan lebih jelek lagi dari binatang, mereka itu adalah orang-orang yang lalai/bodoh.

Di dalam Q.S. Al-Jumuah: 5, Allah menganalogikan orang-orang yang   mendapat kitab suci tetapi tidak mengamalkannya seperti binatang keledai yang memikul beban berat. Kedua ayat di atas menggambarkan bahwa derajat manusia bisa sama dengan binatang bahkan lebih jelek lagi jika mereka tidak mampu memaknai dan mengamalkan petunjuk Tuhan.

Kedalaman makna sebuah simbol juga sangat tergantung kepada situasi dan interpritasi orang (subjek) yang memberi makna. Sekuntum bunga mawar merah yang dibagi-bagikan di perempatan lampu merah di saat hari Valintine Day atau hari ibu merupakan simbol kasih sayang. Simbol ”kasih-sayang” ini hanya dapat dipahami bagi mereka yang mengetahui eksistensi hari ibu atau valentine day, tetapi tidak berlaku bagi yang tidak memahaminya. Demikian pula, bunga mawar ini lebih bermakna dan berkesan lagi, jika diberikan oleh seorang kekasih (laki-laki)  kepada gadis yang dicintainya. Jika mawar yang diberikan kepada masyarakat di lampu merah hanya disimpan mungkin satu atau dua jam, maka mawar dari kekasih untuk kekasih akan bertahan berhari hari selama bunga itu masih utuh dan bisa disimpan.

Di dalam dunia politik, analogi binatang sering mewarnai sejumlah term yang dipakai untuk menggambarkan sesuatu atau situasi. Ungkapan; sapi perah, kuda tunggangan, kambing hitam, dagang sapi, adu domba dan lain-lain memiliki makna yang sangat dalam untuk menggambarkan situasi yang terjadi. Ungkapan simbolik sering dipakai untuk menjelaskan situasi yang agak rumit diurai dengan kata-kata atau kalimat. Karenanya, konstruksi analogi ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang terdidik, baik secara akademik maupun politik.

Sungguminasa 9 Setepmber 2024