Rabu 24 April yang lalu, Kepala Pusat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berkunjung ke UIN Alauddin Makassar. Kunjungannya bersama rombongan ini terkait dua hal. Pertama; menghadiri pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Moh. Sabri AR, MA yang juga sebagai Direktur Pengkajian materi BPIP. Kedua; melakukan MoU dengan UIN Alauddin Makassar. Kehadiran rombongan BPIP bukan sekadar seremonial, tetapi membawa pesan penting agar kita semua menjaga falsafah bangsa yaitu Pancasila sebagai basis utama kebangsaan kita.
Untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan diperlukan ijtihad yang terukur dan terstruktur, baik secara kelembagaan maupun melalui jalur pendidikan keagamaan. Salah satu hal yang sangat penting dilakukan untuk mengokohkan nilai kebangsaan adalah melalui reformulasi fikih kebangsaan. Ini penting sebab selama ini fikih hanya bekutat pada aspek normatif-ritualis, belum menyentuh secara komprehensif bagaimana formula kebangsaan dirumuskan dalam fikih.
Nurcholis Madjid (2004;1) menyatakan nasib disiplin fikih hampir sama dengan nasib disiplin tafsir dan ilmu-ilmu agama lainnya. Jika al-Zarkasyi, penulis Tafsir al-Burhan menyebut ilmu al-Qur’an dan tafsir telah mencapai puncak kematangannya, bahkan siap saji, maka ilmu fikih beserta fundamen-fundamennya juga dianggap oleh sebagian pengkaji fikih telah matang. Karena “kesempurnaannya”, tugas seorang ahli fikih hanya dibatasi pada upaya mengadopsi, mengakomodasi dan melanjutkan pemikiran dan mazhab yang dihasilkan para ulama terdahulu.
Ilmu fikih merupakan sebuah disiplin ilmu keislaman yang mengatur tata kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, lingkungan maupun dengan sesama manusia. Karena fikih menjadi landasan kehidupan beragama, maka materi ini dipandang sangat urgen, dan karenanya diajarkan sejak SD/MI hingga perguruan tinggi, meskipun dengan materi yang berulang-ulang. Karena itu, tidak heran masyarakat Indonesia termasuk fiqh oriented, yang seringkali menyandarkan kehidupan keagamaannya pada halal-haram, atau wajib, sunat, makruh atau mubah. Ukuran perbuatan dalam kehidupan harus diukur dengan standar kaidah hukum ini.
Lebih lanjut Nurcholis menyatakan, sejumlah kitab fikih yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren atau sekolah keagamaan, pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab fikih yang ditulis pada ulama beberapa abad yang silam. Hampir tidak ditemukan sebuah studi plus, yang tidak hanya membacakan tetapi lebih jauh menyoal atau mempertanyakan kembali secara kritis doktrin fikih yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Menurut Nurcholis, mereka hanya memproduksi pandangan fikih klasik dan tidak membuat pandangan fikih alternatif yang relevan dengan konteks kekinian. (Nurcholis; 2)
Memperbaharui fikih dalam konteks kekinian atau kedisinian merupakan sebuah keharusan, sebab fikih bukanlah nas/teks suci yang tidak dapat diganggu-gugat. Fikih hanya sebuah produk ijtihadi dan konstruksi pemikiran atau pemahaman dari seorang atau beberapa ulama dalam menyikapi fenomena kehidupan dari sebuah zaman.
Menurut Hasan Turabi (2003;50), mestinya fikih harus berkembang sesuai dengan konteks dan zaman. Hal ini disebabkan produk ushul fikih dalam tradisi pemikiran fikih klasik masih bersifat sangat abstrak dan teoritis yang tidak mampu melahirkan pemahaman komprehensif dan justeru melahirkan perdebatan (khilafiyah) yang tak kunjung berakhir. Menurutnya, fikih yang ada masih berkutat pada ijtihad dalam persoalan ibadah ritual dan masalah kekeluargaan, sementara persoalan ekonomi dan kenegaraan belum memiliki kajian fikih yang komprehensif.
Karena itu Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh al-Awlawiyat mengajukan alternatif pemikiran agar fikih direformasi menjadi fikih realitas (fiqh al-waqi) dan fikih prioritas (fiqh al-awlawiyah). Dalam hal ini, fikih tidak lagi bercorak vertikalistik yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba merambah masalah-masalah kemanusiaan, ketatanegaraan (fiqh al-daulah) dan kebangsaan (fiqh al-muwathanah).
Kenapa Fikih kebangsaan penting?
Seirama dengan perjalanan waktu, masyarakat mengalami krisis berbangsa akibat berbagai kepentingan, ambisi, kekuasaan dan keserakahan. Muncullah pertikaian antar umat beragama, separatisme, pencurian uang negara, mafia kasus, dan lain-lain. Ironisnya masyarakat pada kenyatannya cenderung memandang persoalan kebangsaan tidak ada kaitannya dengan agama. Soal pahala-dosa hanya dikaitkan dengan ibadah-ibadah yang telah ditetapkan di dalam hukum Islam (fikih). Paradigma semacam ini tentu tidak saja memengaruhi cara berpikir masyarakat tentang realitas, tetapi juga mengatur cara mendekati dan bertindak atas realitas.
Ancaman separatisme (pemisahan diri dari NKRI) merupakan sebuah realitas yang dihadapi bangsa ini. Penghinaan simbol-simbol negara melalui berbagai cara, sangat lazim ditemukan dalam setiap unjuk rasa. Kasus pengrusakan rumah-rumah ibadah, pelanggaran terhadap lampu/rambu-rambu lalu lintas, pembakaran ban di jalan raya yang seringkali menghalangi perjalanan orang lain tempak menjadi sebuah tradisi yang dibiarkan.
Masyarakat yang melakukan pelanggaran di atas seperti; makar, menghina simbol negara, membakar ban atau rumah ibadah orang lain, terorisme, berunjuk rasa dengan menutup jalan, membuang sampah di sembarang tempat, menganggap aktifitas tersebut bukanlah perbuatan dosa, sebab hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas tersebut tidak pernah dibahas secara komprehensif di dalam kitab fikih. Bagi masyarakat, dosa dan pahala hanya dikaitkan dengan perintah Allah dan Rasulullah, bukan aturan pemerintah.
Anggapan ini tentu sangat tidak sejalan dengan firman Allah (Q.S. An-Nisa; 59) yang memerintahkan untuk tunduk dan taat kepada waliyul amri (pemerintah). Padahal Allah mendelegasikan hukum-hukum kemasyarakatan yang tidak diatur dalam teks suci, melalui produk hukum/undang-undang yang dibuat oleh pemerintah. Artinya melanggar aturan pemerintah, misalnya melanggar lalu lintas seperti lampu merah atau menutup jalan/membakar ban menghalangi lalu lintas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama, dan hukumnya dosa.
Fikih kebangsaan mencoba menawarkan gagasan-gagasan kontemporer dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang contentnya tidak ditemukan dalam fikih klasik. Jika fikih klasik selalu berorientasi pada wahyu, maka fikih kebangsaan, di samping tetap merujuk kepada teks suci, ia juga dapat menjadikan teori-teori sosial modern sebagai rujukan dalam mengambil sebuah hukum. Nurcholis Madjid mencontohkan tentang kewarganegaraan dan demokrasi. Menurutnya, agar fikih dapat berinteraksi dengan konsep-konsep modern, sejatinya harus membuka diri dan memahami konsep tersebut secara mendasar, tidak parsial. Fikih tidak lagi hadir sebagai konsep yang menafikan konsep lain, melainkan dapat memberi ruh terhadap teori-teori modern.
Sungguminasa, 26 April 2024