Beberapa hari yang lalu, tetangga saya pulang dengan balutan perban di tangannya.Melihat cara berjalannya yang tidak begitu normal ditambah dengan ekspresi muka yang tampak menahan sakit membuat saya langsung mendekatinya dan bertanya tentang apa yang terjadi. “Tadi saya terjatuh dari motor di persimpangan jalan karena harus menghindari Pak Ogah yang mengatur lalu lintas tanpa memperhatikan keselamatannya dirinya sendiri.”
Pak Ogah adalah istilah yang disematkan kepada mereka yang hadir di hampir setiap putaran di sudut-sudut jalan di Kota Makassar. Kian banyak putaran jalan (U-Turn), kian banyak pula kehadiran Pak Ogah. Kemunculan Pak Ogah seirama dengan bertambahnya volume kendaraan dan hadirnya median jalan. Di satu sisi, dalam kondisi tertentu Pak Ogah bisa membantu, namun di sisi lain juga bisa mengganggu, bahkan kehadiran mereka sering membuat antiran panjang pengguna jalan. Mereka sering membuat ribet dan menghambat laju perputaran mobil di pembelokan dengan cara berada di depan mobil atau berdiri di sisi kanan dekat pintu supir. Kenapa di sisi kanan mobil, bukan di sisi kiri untuk membantu menghentikan laju mobil/motor yang berada di sisi kiri. ? Jawabnya sederhana karena “cepe”.
Kehadiran komunitas itu cukup kontroversial, di satu sisi ada yang berpikiran pragmatis. “Ya.. daripada mereka mencuri atau merampok, lebih baik mencari uang di jalan” namun di sisi lain, Peraturan Pemerintah Daerah Kota Makassar nomor 7 tahun 2021 melarang member uang di jalan dengan hukuman denda maksilam 50 juta. Lalu kenapa fenomena sosial ini tidak pernah hilang meski ada Perda.
Menurut catatan salah satu Koran di Makassar, pendapatan Pak Ogah, misalnya di Jl Hertaning Raya, tepatnya di depan SPBU Hertasning dan depan kantor PT Perum Perumnas Regional VII Makassar mencapai Rp 200 ribu sehari atau setara Rp 6 juta sebulan. Itulah sebabnya kemunculan Pak Ogah seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, mulai dari anak-anak, para remaja, dewasa hingga orang tua. Uniknya, Ogah saat ini bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan, seperti yang bisa ditemukan di Jl. Hertasning dimana seorang perempuan yang sedang menggendong anak kecil juga menjadi “Bu Ogah”. Sangat miris melihat pemandangan ini, bukan hanya karena ada ibu-ibu berprofesio sebagai Bu Ogah, tetapi miris melihat exploitasi anak kecil di dalam gendongan untuk meraih simpati dan iba dari pengguna jalan.
Pengamat Perkotaan Tubagus Haryo Karbyanto menyatakan kehadiran Pak Ogah di sejumlah kota-kota besar di Indonesia akibat tidak adanya sistem manajemen lalu lintas yang jelas. Pengelola kota seenaknya saja membuat rambu putaran di sejumlah titik tanpa melihat efektif atau tidaknya pemasangan rambu putaran kendaraan tersebut. Makin banyak rambu putaran kendaraan maka dipastikan akan banyak titik kemacetan arus lalu lintas, dan ini merupakan peluang bagi hadirnya Pak Ogah. Mereka hadir karena keterbatasan petugas yang mengatur arus lalu lintas, juga pastinya karena tuntutan ekonomi. Di balik semua itu, fenomena Pak Ogah perlahan tetapi pasti akan menjadi ladang pekerjaan yang akhirnya 'melembaga'. Remaja lebih suka mengumpulkan rupiah demi rupiah (cepe) daripada pergi sekolah. (Norman Mouko:2012)
Dari sudut kultural, memberi Pak Ogah bisa melembagakan budaya suap di tengah masyarakat, sedangkan perspektif agama, memberi pada tempat yang tidak tepat bisa tidak bernilai ibadah atau amal saleh, apalagi tidak disertasi dengan keikhlasan.
Makassar sebagai kota besar, menjadi tujuan wisata dan menjadi pintu gerbang perdagangan di wilayah Indonesia Timur harus mampu menghadirkan konsep “peradaban” dalam arti sesunguhnya, bukan saja sebatas bebas dari sampah, tetapi bebas dari kemacetan dan ketidaknyamanan ketika berada di jalan raya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa