BOM MAKASSAR ; JIHAD ATAU JAHAT

  • 10:59 WITA
  • Administrator
  • Artikel


Teror bom kembali mengusik ketenangan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, bom  diledakkan pada Ahad di Gereja Katedral Makassar saat jemaat akan melaksanakan ibadah. Akibat ledakan ini, dua orang tewas (pelaku), dan dua puluh lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka-luka serius akibat serpihan material bom. Hingga hari ini, pihak kepolisian masih melakukan investigasi, dan menngumpulkan data untuk melakukan langkah berikutnya. 


Kasus bom bunuh diri bukanlah kali pertama terjadi di Indonesia, tetapi beberapa kasus serupa sudah terjadi di sejumlah wilayah di negeri ini. Mereka yang melakukan teror bom bahkan merelakan jiwanya melayang dengan meledakkan bom tersebut, dan menganggap perbuatannya sebagai jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah) yang balasannya adalah surga.  


Term jihad yang dipahami dan diaplikasikan oleh seseorang atau sekelompok orang  mengalami sebuah distorsi yang cukup parah akibat kegagalan memahami makna jihad bahkan melupakan konteks sejarah, hukum, syarat dan etika jihad. Konsekuensinya, nilai luhur jihad  ternodai dengan aksi-aksi terorisme. Pelaku tampak sudah kehilangan akal sehat dan nurani sehingga tega melakukan hal seperti itu, atau mungkin di dalam keyakinannya, semua orang yang tidak sama dengan visi-misi dan ideologi dipandang sebagai kafir (takfiriyah) yang darahnya halal untuk ditumpahkan.

Orang atau kelompok semacam ini sudah lupa bahwa Nabi melarang keras terjadi pertumpahan darah tanpa alasan yang dibenarkan. Membunuh binatang tanpa alasan syari’i saja dilarang oleh agama, apalagi membunuh manusia


Sekelompok orang hanya mengenal jihad, tetapi tidak mempraktikan  ijtihad dan mujahadah. Jihad yang dilakukan tidak berdasarkan atas pertimbangan kedua aspek ini bisa berubah menjadi sebuah kejahatan, baik kejahatan bersifat individual maupun kejahatan kemanusiaan. Orang-orang yang begitu bersemangat dengan perjuangan jihad masih memahami istilah ini dengan perang melawan musuh. Padahal dalam konteks agama, perang melawan kemiskinan dan kebodohan juga dipandang sebagai jihad.  


Dalam konteks kekinian, jihad dipandang sebagai sebuah perjuangan sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam memperjuangkan kebenaran, kebaikan dan keluhuran, serta memerangi kemiskinan dan kebodohan.


Jihad memiliki keterkaitan dengan ijtihad  dan mujahadah. Ketiga istilah ini terambil dari akar kata Juhd yang bermakna ”kesungguhan, kesukaran atau kemampuan”. Kesamaan akar kata dari ketiga istilah ini memberi konsekuensi bahwa jihad sesungguhnya tidak terlepas dari ijtihad dan mujahadah. Ketiganya harus bersinergi  dalam implementasinya di lapangan jika ingin mendapatkan nilai sebuah jihad. Dengan kata lain, jihad tanpa melalui ijtihad  dapat berujung kepada sebuah ”kekonyolan”.


Jihad  dengan  ijtihad tetapi tidak menyertakan mujahadah dapat berbuah kejahatan yang bisa mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan. Aspek mujahadah dalam jihad merupakan dimensi spiritualitas yang menjunjung tinggi  hak dan nilai-nilai universal kemanusiaan.  Jihad dilakukan bukan atas dasar kebencian yang penuh dengan emosi, tetapi jihad dilakukan atas dasar untuk mencapai ridha Tuhan.


Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Nabi  Muhammad pernah  meminta sahabatnya Ukasah untuk memukul punggungnya dengan seutas cambuk disebabkan ketika terjadi peperangan, cambuk Nabi tanpa sengaja mengenai punggung Ukasah.  Riwayat ini memberikan pemahaman bahwa di saat jihad suci sekalipun, Nabi berupaya untuk tidak menyakiti orang lain, meski nilai pahala jihad tersebut boleh jadi dapat menghapus sebuah kesalahan yang tidak disengaja, akan Nabi Muhammad saw itu, tetap meminta balasan dari apa yang pernah dilakukannya kepada Ukasah. 


Demikian pula halnya Sayyidina Ali ra. pernah mengurungkan aksinya untuk membunuh musuhnya di saat duel (satu lawan satu) dalam sebuah peperangan hanya karena lawannya meludahi wajahnya di saat dia ingin menghunjamkan pedang ke dada musuhnya. Sang musuh bingung dan bertanya kenapa Ali membatalkan niat untuk membunuhnya? Ali menjawab bahwa tujuannya berperang hanya  semata-mata karena Allah (perang di jalan Allah), tetapi di saat ludah  mengenai wajah, dadanya bergemuruh, hatinya panas dan emosi  memuncak. Akhirnya Ali membatalkan niatnya untuk membunuh, sebab jika dia lakukan, perbuatannya bukan lagi jihad fi sabilillah, tetapi membunuh atas dasar dendam, kemarahan dan emosi.

Panglima perang Salahuddin al-Ayyubi pernah menunda peperangan menyerang musuh hanya disebabkan di atas tendanya ada seekor merpati yang sedang bertelor. Dia perintahkan kepada prajuritnya untuk menunda penyerangan hingga merpati tersebut menetas, sebab ia khawatir akan mengganggu kelangsungan kehidupan anak-anak burung merpati tersebut.


Semua cerita sejarah di atas menunjukkan bahwa sebuah jihad harus disertai proses ijtihad dan nilai-nilai mujahadah yang mengedepankan pertimbangan logis, dan terukur serta semangat keadilan, humanisme dan kearifan. Karena itu, jihad bukanlah sebuah pelampiasan amarah dan angkara murka atas dasar sintimen keberagamaan yang tidak logis yang justeru efeknya mendatangkan kemudaratan dan kejahatan kemanusiaan.


Sungguminasa 29 Maret 2021 ...08.30