Beberapa hari yang lalu (18-19/2/25) Fakultas Adab dan Humaniora menyelenggarakan sebuah kegiatan yang sangat menarik. Workshop pemanfaatan teknologi AI dalam tulis-menulis. Kegiatan yang dihadiri hampir seluruh dosen ini sangat menarik karena dapat membantu para dosen atau mahasiswa untuk membuat sebuah karya. Sahidus zaman, M.Kom dari UIN Malang sebagai pemateri menyampaikan bahwa teknologi IAI tidak dimaksudkan untuk mengikis peran akal manusia tetapi hanya sebagai panduan di dalam memetakan arah pikiran.
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, dari sistem rekomendasi hingga otomatisasi pekerjaan. Namun, saya mengamati di balik manfaatnya, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: menurunnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif manusia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan pada AI dapat berdampak pada fungsi kognitif manusia. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Nature Human Behaviour (2021) menemukan bahwa penggunaan sistem berbasis AI dalam pengambilan keputusan mengurangi keterlibatan kognitif individu, sehingga menghambat proses berpikir mendalam. Ketika AI memberikan jawaban instan, manusia cenderung menerima tanpa mempertanyakan atau menganalisis lebih lanjut (Rahwan et al., 2021).
Wakil Menteri Ristek Prof. Stella juga mengingatkan tentang pentingnya fungsi kognitif harus selalu diaktifkan, agar manusia tidak beku dalam proses berpikir dan menalar.
Selain itu, riset oleh Sparrow, Liu, dan Wegner (2011) dalam Science menunjukkan bahwa efek "Google Effect" – di mana manusia lebih mengandalkan mesin pencari daripada mengingat informasi sendiri – mempercepat kemunduran daya ingat. Dengan AI yang semakin canggih, fenomena ini berkembang menjadi ketergantungan yang lebih dalam, di mana manusia semakin jarang melatih otaknya untuk berpikir kompleks.
Otak "Jumud": Evolusi atau Kemunduran?
Kemudahan yang ditawarkan AI juga berisiko menumpulkan kreativitas dan pemecahan masalah. Studi dari University of California, Berkeley (2022) menemukan bahwa individu yang sering mengandalkan AI dalam tugas-tugas kreatif mengalami penurunan fleksibilitas berpikir dibanding mereka yang tetap mengasah daya imajinasi mereka secara mandiri. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa menyebabkan stagnasi intelektual dan menurunkan kapasitas inovasi manusia.
Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa ini adalah fase evolusi di mana manusia akan beradaptasi dengan AI sebagai ekstensi pikirannya. Namun, tanpa keseimbangan yang tepat, AI bisa menjadi "tongkat" yang membuat manusia semakin malas berpikir, bukan alat yang memperkaya intelektualitas mereka.
Untuk menghindari "kejumudan" otak akibat AI, manusia perlu mempertahankan kebiasaan berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti pemikiran, adalah kunci untuk tetap berkembang. Pendidikan dan pelatihan berbasis problem-solving serta literasi digital yang lebih mendalam menjadi penting untuk memastikan AI tidak menggantikan akal manusia, melainkan memperkuatnya.
"Akal adalah cahaya dalam gelapnya kebodohan. AI bisa menjadi lentera, tapi manusialah yang harus menentukan arah langkahnya."
Sungguminasa 24 Februari 2025