Kebakaran maha dahsyat melanda Los Angeles Amerika Serikat. Api berkobar memakan apa saja yang didapatinya. Seolah tidak peduli dengan rintihan masyarakat yang melihatnya, api it uterus menjilat dan bolanya terbang ke sana kemari memindahkan api ke sejumlah titik lainnya. Para petugas pemadam kebakaran tampak kebingungan, dari mana pemadaman harus dimulai. Sebab ketika di titik yang satu sudah dikuasai, api muncul di titik yang lain.
Menurut sejumlah sumber kebakaran ini merupakan peristiwa terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat. Dikatakan demikian karena kerugiannya juga tidak tanggung-tanggung. Beberapa media mencatat, kerugian ditaksir mencapai 4.000 triliun.
Anda bisa membayangkan uang sebesar itu? Pertanyaan ini saya ajukan kepada jemaah jumat saat saya khutbah, sebagai pertanyaan reflektif dan kontemplatif tanpa harus dijawab. Saya pun memberikan ilustrasi dengan kasus akbar sunami Aceh. Ketika terjadi sunami di Aceh 26 Desember 2004, Aceh luluh lantak. Bangunan runtuh tersapu air rata dengan tanah. Tidak kurang dari 135.000 ribu jiwa melayang. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama membantu masyarakat yang mengalami korban jiwa, dan harta. Menurut catatan sejumlah media, untuk merekonstruksi dan memulihkan Aceh diperlukan dana sebesar 10 triliun. Uang yang cukup besar untuk ukuran rerata masyarakat Indonesia. Coba bandingkan kerugian USA 4000 triliun dalam peristiwa kebakaran Los Angeles. Berapa puluh kali lipat dibanding uang penanganan rekontruksi Aceh.
Perspektif Spiritual
Kebakaran besar yang melanda Los Angeles tidak hanya membawa dampak fisik berupa kehancuran properti dan lingkungan, tetapi juga memicu refleksi spiritual yang mendalam. Dalam banyak tradisi keagamaan dan filsafat, api memiliki makna simbolik yang kompleks—ia adalah alat pembersihan, penghancuran, dan pembaruan. Peristiwa ini mengundang kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar aspek materialnya dan merenungkan pesan spiritual yang terkandung di dalamnya.
Dalam tradisi Islam, api sering kali diasosiasikan dengan ujian dan penyucian. Ayat-ayat Al-Qur'an kerap menyebut api sebagai pengingat tentang akhirat dan pentingnya introspeksi diri. Kebakaran Los Angeles dapat dilihat sebagai peringatan kolektif untuk merenungkan sejauh mana hubungan manusia dengan alam telah melenceng dari keharmonisan yang diperintahkan oleh Sang Pencipta. Dalam perspektif ini, api menjadi simbol untuk membakar keangkuhan dan keserakahan manusia yang sering menjadi akar permasalahan kerusakan lingkungan.
Tradisi teosofi Islam Nusantara juga menawarkan wawasan penting. Konsep Sulappa Eppa, yang merepresentasikan keseimbangan empat elemen—tanah, air, udara, dan api—mengajarkan bahwa disharmoni di antara elemen-elemen tersebut dapat menimbulkan bencana. Dalam konteks kebakaran, elemen api yang mendominasi menandakan ketidakseimbangan yang membutuhkan restorasi, baik secara fisik maupun spiritual. Bagi masyarakat yang memegang kearifan lokal ini, kejadian seperti ini memanggil untuk kembali pada harmoni yang sejati, tidak hanya dengan alam tetapi juga dengan Sang Pencipta.
Selain itu, kebakaran ini juga mengingatkan kita akan sifat fana dari dunia. Dalam tradisi sufisme, dunia material dipandang sebagai tempat yang sementara, yang pada akhirnya akan musnah. Kebakaran yang melahap segala sesuatu di hadapannya menjadi simbol konkret akan kefanaan tersebut, mengingatkan manusia untuk tidak terlalu melekat pada hal-hal duniawi dan lebih fokus pada tujuan spiritual yang lebih tinggi.
Dari perspektif spiritual global, kebakaran ini menegaskan pentingnya solidaritas kemanusiaan. Saat banyak orang kehilangan rumah dan kehidupan, masyarakat dunia diundang untuk menunjukkan empati dan kasih sayang yang melampaui batas geografis. Dalam tradisi spiritual mana pun, tindakan kebaikan dan bantuan kepada sesama adalah refleksi dari nilai-nilai ilahi.
Melalui bencana seperti kebakaran Los Angeles, manusia diajak untuk berhenti sejenak, merefleksikan kehidupan, dan memperbaiki hubungan mereka dengan Tuhan, sesama, dan alam. Sebagaimana api yang membakar, kita pun dapat menjadikannya kesempatan untuk menyucikan diri, menghidupkan kembali komitmen spiritual, dan menciptakan dunia yang lebih harmonis.
Sungguminasa 20 Januari 2025