MEMBANGUN MODERASI BERAGAMA DENGAN CINTA (Refleksi pada pidato Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.)

  • 08:59 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Satu momen yang sangat berkesan ketika saya sempat menyimak pidato Gurutta Prof. Nasaruddin, selaku Menteri Agama RI, pada puncak acara Dies Natalis UIN Alauddin ke 59. Beliau saat ini merupakan tokoh nasional, bahkan internasional, dunia pemikiran Islam yang menjadikan moderasi beragama sebagai jargon pembangunan umat Islam Indonesia. Perjuangan beliau untuk mempromosikan Indonesia sebagai model negara Islam yang menerapkan moderasi beragama patut didukung sepenuhnya, terutama oleh para akademisi dan perguruan tinggi Islam di bawah naungan Kementerian Agama. Sangat ironis jika beliau sebagai alumni UIN (IAIN) Alauddin berada di posisi garda terdepan, lalu kita sendiri para civitas akademika UIN Alauddin justru latah, tidak paham bahkan tidak mampu menerapkan nilai idealisme moderasi beragama yang dibangun Prof Nasaruddin.

            Masih ada fenomena sebagian orang yang meragukan keabsahan konsep moderasi beragama yang dihembuskan secara kuat oleh Kementerian Agama, bahkan ada yang mem’bully’ dengan ejekan-ejekan yang kadang bukan karena tidak paham, tetapi lebih bertendensi politis. Semua orang, secara naluriah, pastinya ingin berada di posisi ‘tengah’ (moderat). Rasulullah sendiri secara gamblang menegaskan bahwa sebaik-baik perkara, sikap dan posisi adalah di tengah-tengah (wasath). Tetapi jika ada yang merasa gerah dan tidak nyaman dengan posisi tengah maka dia akan bergeser ke posisi pinggir, pinggir kanan atau kiri (ekstrem). Sialnya, bukan berusaha kembali ke tengah, dia justru menjustifikasi posisi pinggirnya adalah tengah, menolak dan berupaya menghancurkan bagian tengahnya orang. Nggak mikir jika bagian tengah dihancurkan, pasti pinggir juga terlempar hancur. Sikap dan kelakuan seperti ini, istilah orang ga’ bahaya tah

            Menyimak pencerahan Prof Nasaruddin yang disampaikan dalam pidatonya di acara tersebut, saya menggarisbawahi dua hal yang menarik untuk kita cermati dan refleksikan dalam kehidupan beragama dan kehidupan kekampusan. Pertama, moderasi beragama tidak mungkin dibangun dengan adu argumen, adu kekuasaan atau adu otot. Jika anda memperjuangkan moderasi dengan mengandalkan dominasi political power atau intellectual power, maka anda otomatis tidak pada sikap moderat dan bertentangan dengan nilai moderasi itu sendiri. Prof Nasaruddin menandaskan bahwa moderasi beragama harus dibangun dengan cinta. Cinta dan kasih sayang sejatinya menjadi pondasi utama sekaligus perekat sikap dan pemahaman agama yang beragam.

            Ada yang menuduh Prof Nasaruddin adalah tokoh liberal, dan bahkan menghukum beliau sebagai kafir, atas dasar pendapat beliau bahwa semua agama benar. Pemahaman sumbu pendek dan parsial tentunya sulit menjangkau spektrum pemikiran besar Prof Nasaruddin dalam membangun kedamaian kehidupan umat beragama yang sejati di Indonesia. Cinta, yang saya pahami dari pemikiran beliau, tidak berada pada ranah ideologi agama. Idelogi menuntut setiap pemeluk agama untuk mencintai agamanya lebih dari segalanya, bahkan ekstremnya mensubordinasi akidah agama lain. Dalilnya banyak. Tetapi cinta di sini adalah memandang setiap makhluk setara dalam kemanusiaan. Setara dalam hak untuk hidup selamat, hak untuk dibela, hak untuk dilindungi, hak untuk berkeyakinan dan berpendapat, hak untuk tidak dilukai dan disakiti. Anda tidak bisa menerima keberadaan orang lain jika hati anda dipenuhi kebencian, asumsi negatif, stereotype dan prejudice. Allah SWT tegas menyatakan buruk sangka kepada siapapun adalah dosa yang amat serius.

            Kedua, Prof Nasaruddin menyiratkan pesan luhur kepada kita semua, dalam kapasitas beliau selaku Menteri Agama dan tokoh ulama, agar mengimplementasikan cinta dalam segala sisi kehidupan kita, baik dalam keluarga, masyarakat dan khususnya dalam aktivitas akademik di kampus. Cinta yang meruntuhkan sekat-sekat perbedaan dan membangun jembatan kesepahaman untuk kedamaian bersama. Cinta yang membuat suami istri saling menerima perbedaan dan kekurangan masing-masing. Dosen mengajar mahasiswa dengan cinta, bukan dengan mata mendelik dan ancaman. Mahasiswa mencintai dosennya dengan kerelaan hati menerima pengajaran dan bimbingan.

            Mari kita membangun mawaddah untuk sesama muslim dan membangun rahmah untuk semua manusia, tanpa melihat label agama, etnis ataupun budaya, demi terciptanya sakinah dalam kehidupan global. Wallahu a’lam