Penegak Hukum Disuap, Keadilan Menguap

  • 09:54 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Dunia peradilan kembali tercoreng.  Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait dengan kasus suap yang dilakukan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada Rabu (23/10/2024). Suap itu terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, anak anggota DPR yang menganiaya kekasihnya hingga tewas. Tiga hakim tersebut yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo. Tidak hanya menangkap tiga hakim, Kejaksaan Agung juga mengamankan seorang pengacara bernama Lisa Rahmat selaku penyuap. Kasus   ini menjadi tamparan keras bagi lembaga penegak hukum dan menambah daftar panjang catatan hitam kebobrokan dunia peradilan di Indonesia.

Kasus suap-menyuap  di negeri ini bukanlah hal baru. Jauh sebelum kasus ini terjadi, sejumlah  kasus suap telah menerpa lembaga peradilan di Indonesia, baik di lembaga kehakiman, kepolisian maupun kejaksaan.  Ironisnya, yang terlibat dalam kasus suap dan mafia hukum justeru mereka yang selama ini dipandang senior dan profesionalitasnya tidak diragukan lagi.  Dalam kaitan ini, tampaknya tesis yang pernah dilontarkan oleh sejumlah pakar yang menyatakan kenaikan insentif pejabat dapat meningkatkan kinerja dan mengurangi angka korupsi, ternyata tidak terbukti. Renumerasi gaji di lembaga penegak hukum yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding dengan pegawai pemerintah lainnya ternyata tidak terlalu berdampak positif terhadap peningkatan kinerja. Justeru sebaliknya, penyelewengan di dunia hukum semakin menjadi-jadi. Tampaknya hukum dipelajari bukan untuk ditegakkan, tetapi justeru untuk dilanggar.

Fenomena tertangkapnya tiga hakim dan sejumlah aparat penegak hukum sebelumnya semakin membuktikan kegagalan dan keterpurukan citra lembaga peradilan Indonesia. Krisis kepercayaan masyarakat semakin mendapatkan pembenaran, bahwa di Indonesia, penegakan hukum  seperti pisau bermata dua. Tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.  Koruptor kakap divonis bebas, sedangkan Supriyani (36), guru honorer SDN 4 Baito, dilaporkan atas tuduhan menganiaya anak polisi sejak April lalu hingga menjalani persidangan.


Karena itu,  lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan kepolisian dituntut komitmen untuk  mensterilkan lembaganya dari oknum-oknum yang melakukan praktik suap-menyuap. Jika tidak, dikhawatirkan Indonesia akan berubah menjadi sarang para koruptor, dan penyuap. Maka jadilah negara ini sebagai sebuah negara kliptokrasi, di mana suap-menyuap bukan lagi sebagai sebuah kasus kasuistik, tetapi menjadi sebuah tradisi/budaya yang mengakar dan mendarah daging.  

Dalam pandangan Islam, aparat penegak hukum merupakan sosok yang sangat mulia, baik dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan Tuhan. Aparat penegak hukum sesungguhnya wakil Tuhan (khalifah) karena mereka diberi mandat oleh Allah untuk menegakkan dan memuliakan sifat-Nya al-adl (keadilan) di permukaan bumi ini. Lawan dari keadilan adalah kezaliman yang merefleksikan sifat iblis/setan. Artinya, jika para aparat penegak hukum tidak mampu menegakkan hukum dan keadilan, tapi justeru melakukan atau melindungi kezaliman, maka mereka bukan lagi wakil (khalifah) Allah, tetapi sudah menjadi wakil iblis.

Karena Rasulullah saw sangat tahu kondisi sosiologis dan psikologis di dunia hukum, beliau senantiasa mengingatkan para hakim agar berhati-hati dalam memutus perkara, sebab dunia hukum rawan dengan praktik suap-menyuap. Ketika Rasulullah memegang kendali pemerintahan,  terjadi kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang. Ia tertangkap dengan sejumlah barang bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Sebelum kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, keluarga terdakwa melakukan pendekatan kepada anak angkat Rasulullah yaitu Zaid bin Harisah agar dia melobi Rasulullah saw untuk  membebaskan sang pelaku dari jeratan hukum. Mendengar hal ini, Rasulullah dengan tegas bersabda: Umat-umat terdahulu (Bani Israel ) hancur dan binasa karena mereka  tidak menerapkan hukum secara adil. Jika  kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang kuat pengaruhnya mereka tidak dikenakan sanksi, tetapi jika dilakukan oleh orang-orang yang lemah maka ia menghukumnya. Demi Allah, seandainya putriku Fatimah  (anak Muhammad) yang melakukan perbuatan tersebut, aku pasti  menghukumnya (memotong tangannya). 

Praktik suap merupakan sebuah kejahatan teroganisir yang dilakukan oleh lebih dari satu orang. Kejahatan ini menjadi ancaman besar dalam proses penegakkan hukum di dalam sebuah negara. Praktik suap dapat menghancurkan sistem penegakan hukum yang didambakan masyarakat. Dengan suap, hukum dapat dibeli, dan mengorbankan hak-hak orang lain yang mestinya didapatkannya, bahkan suap dapat menghancurkan tatanan perekonomian berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya Rasulullah melaknat para penyuap dan orang yang disuap (HR. Abu Daud). Lebih jauh dia berkata: Penyuap dan yang disuap, keduanya masuk neraka. (HR. Tirmizi)  Di hadis lain, Nabi bersabda: "Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram nerakalah yang paling layak untuknya. Sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, apa barang haram yang di maksud itu?". Rasul bersabda: "Suap dalam perkara hukum."  

Dalam permasalahan suap, Abu Hanifah sebagaimana dikutip oleh Zulhamdi (2010) membagi  ke dalam empat kategori: Pertama, memberikan/menyogok sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, maka hukumnya adalah haram bagi pemberi maupun penerima. Kedua, memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkaranya, hukumnya adalah haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut adalah benar, karena hal itu adalah sudah menjadi tugas seorang hakim dan kewajibannya. Ketiga, memberikan sesuatu agar mendapat perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudaratan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan disuap" dengan berkata, "jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya maka hal itu tidak apa-apa". Jumhur ulama berdalil dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud. Ketika di Ethiopia dia menyuap penjaga perbatasan senilai dua dinar agar bisa melanjutkan perjalanan. Ibn Mas’ud berkata:“Sesungguhnya dosanya ditanggung oleh yang menerima suap bukan yang menyerahkan.“ Keempat, memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan atau pada instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya, baik pemberi dan penerima, karena hal tersebut sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. 

Untuk membuat efek jera kepada para aparat penegak hukum yang mencoba bermain-main dengan hukum, maka hukuman yang seberat-beratnya tampak layak diberikan kepada mereka. Ini sama halnya dengan mekanisme hukum Tuhan. Jika orang melanggar hukum Tuhan karena keawamannya atau ketidaktahuannya, maka dosanya lebih ringan bahkan berpotensi diampuni Tuhan. Akan tetapi, jika ahli agama (ulama) melanggar hukum Tuhan yang sudah jelas dia ketahui dasar hukumnya, maka hukaman Tuhan tentu lebih berat daripada hukuman untuk orang awam.   

Untuk menciptakan negara yang berkeadilan, para pemimpin khusunya pihak berwenang dituntut bersikap tegas dan tidak  pandang bulu  dalam memberikan sanksi hukum. Di negeri ini, penerapan sanksi hukum yang tegas merupakan sebuah keniscayaan agar keadilan tidak menguap. Di samping sebagai upaya preventif juga  sekaligus sebagai cara untuk mengurangi kadar kelabilan spiritualitas (kejiwaan) aparat penegak hukum yang rentan dengan penyuapan.  

Sungguminasa 28 Oktober 2024