Fikih secara etimologi berarti paham atau pemahaman. Sedangkan secara terminologi, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul al- fiqh, fikih adalah korelasi hukum-hukum syara' praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Fikih pada mulanya merupakan hasil pemahaman ulama terhadap teks-teks kitab suci, terutama al-Quran sehingga kecenderungan melakukan teologisasi fikih tidak dapat dihindari. Hampir semua produk fikih selalu dianggap bersifat transedental, walaupun hal itu sebenarnya bersifat temporal. Term halal-haram, sah-tidak sah, dan seterusnya dalam semua bahasan fikih merupakan bukti kecenderungan teologisasi dan transedentalisasi fikih yang tidak dapat dipungkiri. Itu sebabnya, dalam masyarakat yang fikih oriented seperti di Indonesia, sosok yang dipandang sebagai ulama bukan mereka yang pakar di bidang teologi, atau ilmu-ilmu lainnya, tetapi mereka yang menguasai fikih, sebab hampir di setiap saat mereka berinteraksi dengan hukum-hukum yang ditanyakan oleh masyarakat.
Hanya saja, orientasi fikih saat ini masih bersifat legal-formalistik, belum mampu menyentuh akar masalah. Itu sebabnya, fikih seringkali berbenturan dengan disiplin ilmu seperti tasawuf. Filsafat ataupun teologi. Fikih melihat kulit (syariat), sementara tasawuf ataupun filsafat berorientasi pada isi (hakikat).
Mari kita melihat contoh sederhana. Sejak kecil (SD/MI) kita sudah belajar fikih, dan itu terus berlanjut hingga ke perguruan tinggi (khususnya PTKIN) dengan konten yang sama, seperti thaharah, shalat, puasa, zakat dan sejenisnya. Kita diajarkan hukum tentang legal formal sebuah kasus hukum. Mencuri misalnya, kita diajarkan tidak boleh mencuri seperti mengambil barang orang lain yang bukan hak milik kita, karena itu hukumnya haram dan berdosa. Doktrin ini sudah tertanam di alam bawah sadar kita bahwa mencuri itu haram dan berdosa. Akan tetapi, di dalam fikih belum disentuh substansi mencuri itu sendiri, karena yang diajarkan selama ini, perbuatan mencuri itu selalu identik dengan hal yang bersifat kebendaan/material. Saya berikan contoh definisi mencuri dalam fikih Islam sebagai berikut;
As-sariqah/mencuri secara terminology adalah mengambil harta yang dinilai mulia (muhtaram) milik orang lain dari tempatnya yang layak tanpa ada syubhat secara diam-diam. Dari definisi ini kita melihat dua variable utama bahwa mencuri itu adalah mengambil harta dan dilakukan secara diam-diam.
Jika dikaitkan dengan aktivitas demontsrasi yang menutup jalan atau kepentingan umum, maka definisi di atas sama sekali tidak memberikan dampak hukum agama terkait aktivitas demontrasi menutup jalan raya/akses umum, karena demontrasi itu tidak mengambil harta benda, dan juga tidak diam-diam.
Tetapi jika ditelaah secara substantif, maka dalam kontkes fikih lingkungan hidup, aktivitas demontras yang mengganggu ketertiban umum itu dipandang sebagai melanggar syariat agama atau mencuri. Mencuri yang bagaimana?
Setiap pengguna jalan memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan regulasi yang disepakati. Misalnya lajur kiri dan kanan dipergunakan umumnya di Indonsia. Jika ada seorang pengendara yang dengan sengaja masuk ke lajur kanan, padahal dia semestinya di lajur kiri, dan akibat perbuatannya itu menyebabkan macet total, maka dalam pandangan syariat dia berdosa, karena mencuri hak orang lain.
Begitu pula dengan aktivitas demonstrasi yang menutup jalan sehingga aktivitas jalan raya macet total dan pengendara tidak dapat memanfaatkan haknya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Maka dalam konteks fikih, aktivitas demonstrasi seperti ini melanggar syariat agama dan hukumnya berdosa karena sudah mencuri banyak hak orang lain (pengguna jalan). Ada yang batal ke airport, ada yang harus melahirkan di dalam ambulan, ada agenda walimah yang kosong dari tamu karena terjebak dalam kemacetan akibat demontrasi menutup jalan.
Saya berharap agar aktivitas demonstrasi, jika itu harus dilakukan, harus ramah lingkungan, simpatik dan humanis supaya menimbulkan respek dari orang lain. Selain itu, yang terpenting aktivitas demonstrasi tidak dikategorikan sebagai mencuri hak orang lain, karena begitu banyak hak-hak pengguna jalan yang kehilangan haknya akibat tutup jalan. Jika berdosa kepada Allah, maka jalannya adalah mohon ampun melalui tobat, tetapi jika berdosa kepada manusia, maka harus meminta maaf kepada orang-orang yang pernah dizalimi. Lalu dalam kondisi seperti ini, tahukah para demonstran penutup jalan itu, kepada siapa-siapa saja mereka harus meminta maaf.?
Dirgahayu RI 79
Sungguminasa 19 Agustus 2024