Quraish Shihab (2005) menyatakan, tidak mudah untuk mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini ditemukan kenyataan bahwa agama sangat beragam. Ragam pandangan terhadap pengertian agama ini, ditentukan oleh pemahaman seseorang terhadap ajaran agama itu sendiri. Harun Nasution (1985) mengutip pendapat sejumlah ahli bahwa agama dapat bermakna tidak sesat, tidak chaos, tidak pergi (tetap), tuntunan, hukum/aturan, kebiasaan, dan ikatan. Sejumlah pengertian ini tampak sangat dogmatis dan doktinal.
K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) sepulang dari Tanah Suci Mekkah, ditanya oleh sejumlah santrinya tentang definisi agama. Dia tidak menjawab apa-apa, tetapi hanya mengambil biola dan mengesek biolanya. Nada yang dimainkannya mengeluarkan suara dan irama yang sungguh merdu, menyentuh rasa, memberikan keteduhan dan kesejukan, serta kedamaian, dan keindahan bagi orang di sekitarnya.
Demonstrasi bunyi biola yang dimainkan K.H. Ahmad Dahlan rupanya belum juga membuat para santri mengerti tentang definisi agama. Mereka terus bertanya; ”Kyai, apa itu agama? Ahmad Dahlan justeru balik bertanya kepada santri apa yang dirasakan ketika mendengar irama biola. Di antara santri ada yang menjawab sejuk, tenteram, damai, dan indah.
Setelah mengilustrasikan agama dengan demontrasi gesekan biola, beliau mulai menjelaskan tentang agama. Menurutnya, agama dapat diibaratkan seperti biola. Jika dimainkan dengan kunci dan nada yang tepat, biola akan menghasilkan irama yang memberikan rasa keindahan dan kedamaian. Demikian pula keberagamaan yang disertai kemampuan menempatkan segmentasi doktrinal agama secara proporsional akan mampu memberikan kesejukan, kedamaian, dan keindahan dalam kehidupan.
Setelah menerangkan makna agama, K.H. Ahmad Dahlan kemudian memberikan biolanya kepada salah seorang santri dan memintanya untuk memainkan biola. Dengan rasa was-was karena tidak menguasai kunci-kunci nada biola, santri itupun memainkan biola. Apa yang terjadi? Ketika biola digesek, bunyi yang dihasilkan sungguh tidak harmonis, sumbang, kasar, tidak nyaman bahkan menyakitkan telinga santri yang ada di sekitarnya.
Bukan saja biola, semua alat musik, jika nada tidak ditempatkan pada posisi notasi yang tepat, maka bunyi irama akan sumbang, tidak harmoni, dan bisa membuat orang di sekitar merasa resah dan terganggu. Demikian juga keberagamaan yang tidak disertai dengan pengetahuan dan kearifan, melahirkan ketidaknyamanan, pertentangan, permusuhan dan konflik di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman agama yang dangkal serta tafsir tunggal agama yang dipahami secara sempit membuat agama terbawa ke dalam konflik kehidupan manusia.
Banyak penganut agama yang tidak siap untuk berbeda, terutama di dalam berpaham atau berteologi. Penganut seperti ini menganggap orang lain salah, sesat dan menyesatkan bahkan dianggap kafir jika tidak sama dengan paham yang diyakininya, meski paham orang yang dianggap sesat itu memiliki dasar-dasar yang merujuk kepada al-Qur’ān maupun Hadis.
Agama Islam memiliki nilai universal, selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Kesalehan seseorang tidak diukur dari simbol-simbol agama bahkan ritualitas yang dijalankan seorang penganut agama, tetapi dari nilai-nilai mulia yang terefleksi dalam kehidupannya.
Dengan demikian, ber-Islam bukan sekedar menjalankan ritualitas formal, tetapi mengaktualisasikan simpul-simpul nilai yang terkandung dalam sifat kasih sayang yang akan melahirkan kedamaian, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, kerjasama dan kepedulian sosial, baik di rumah tangga maupun di dalam masyarakat. Menebar kasih sayang harus menjadi pilihan utama dari setiap persoalan yang muncul di tengah kehidupan umat manusia, baik dalam konteks intra maupun antar pemeluk agama atau dalam konteks sosial-budaya. Dalam ranah global yang seringkali dirundung konflik seperti sekarang ini, maka kasih sayang harus menjadi paradigma peradaban modern, dan menjadi cermin utuh untuk merajut hubungan horisontal.
Samata, Jumat 14 Juni 2024