Kehampaan di tengah Modernitas

  • 07:13 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Seperti sebuah produk teknologi, ketika dilemparkan ke pasar pasti disertai dengan manual prosedur tentang tata cara pemanfaatan atau penggunaannya. Demikian juga halnya Allah menciptakan manusia dan alam semesta dilengkapi dengan pedoman-pedoman dasar kehidupan yang tertuang dalam kitab suci agar manusia tidak terjebak dalam krusialitas kehidupan yang serba rumit untuk diurai.

Ketika manusia mengabaikan pedoman dasar ini, maka manusia akan semakin jauh tersesat dan terjebak dalam kehidupan semu. Apalagi manusia hari ini hidup di tengah kemajuan material sebagai hasil dari kemajuan dan kecanggihan ilmu dan teknologi dewasa ini telah mempermudah hidup dan kehidupan manusia. 

Menurut Asmaran (1994; 1) banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan bertambahnya setiap penemuan baru di bidang teknologi, bahkan menurut Marshal (1974; 200) persoalan teknologi ini sesungguhnya bukanlah hal baru, tetapi sejak 5000 tahun yang lalu  orang sudah memanfaatkan teknologi, sesuai dengan ukuran zamannya.

Saat ini lebih tepat disebut era teknologi. Nurcholis (1992; 452) menyebunya sebagai zaman teknik, disebabkan peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme tersebut. Wujud keterkaitan itu antara segi teknoligis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman modern sekarang ini.

Akan tetapi fenomena dominasi Iptek yang dipaketkan dengan ideologi kapitalisme menyebabkan manusia kehilangan kebebasan dan makna kemanusiannya yang hakiki di tengah kehidupan megamekanis. Peran-peran manusia telah digantikan oleh dominasi mesin yang bersifat atomistis, bahkan pemberian nilai-nilai edukatif orang tua di rumah tangga sekalipun, diambil alih oleh peran media elektronik. Jika pada masa lalu, anak tertidur di dalam belaian ibunya, diiringi dengan senandung religius, budaya atau dongeng sebelum tidur, fenomena sekarang menunjukkan sebaliknya. Tidak sedikit anak tertidur di depan tayangan sinetron televisi yang menyajikan kekerasan, dendam, romantisme, pergaulan bebas dan lain-lain. 

Akibat itu semua maka tujuan hidup mulai kabur, ekosistem dikacaukan, masyarakat diracuni oleh posmodernisme, lembaga perkawinan tidak dianggap lagi sakral, rumah tangga berantakan, adat dan tradisi menjadi rusak dan iman telah lama menguap dari lubuk hati manusia. Mereka terasing dari dirinya sendiri, dari lingkungan dan dari Tuhannya.  Terjadilah apa yang diistilahkan ahli psikologi sebagai dislokasi kejiwaan, disorientasi dan deprivasi relatif. Mereka merasa tersingkir, terhempas dalam ketidakberdayaan. Eskapisme ini akhirnya mengambil bentuk mabuk-mabukan, penyalahgunaan zat-zat adiktif, selingkuh (memburu “kesenangan” di luar rumah tangganya) dan ada juga yang lari ke agama atau ke pseudo agama yang menjanjikan ketenteraman batin.

Masyarakat  modern didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan menafikan aspek spiritual. Akibatnya terjadi desakralisasi kehidupan. Realitas hidup adalah “kini/kekinian” dan “di sini/kedisinian”. Masa depan, apalagi hidup sesudah mati, merupakan hal yang nisbi. Jika mereka beragama, tampaknya agama hanya dianggap sebagai sebuah identitas simbolik, bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam perilaku. Konsekuensinya terjadilah  pembusukan  nilai agama akibat agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas simbol/topeng.  

Kondisi seperti ini terjadi akibat tidak adanya keseimbangan antara dimensi zikir dan pikir, rasa dan rasio. Akal tidak diharmoniskan dengan wahyu, aspek individu tidak diimbangi dengan sosial, kreativitas tidak dibarengi dengan cita, cinta kasih dan sebagainya. Akibatnya, manusia modern terhempas dalam badai kehampaan. Oleh karena itu, agama menawarkan jalan alternatif (khususnya) di dalam ajaran Islam melalui pendalaman dan pemaknaan al-Quran secara komprehensif yang lebih mengedapankan aspek substantif dalam kehidupan. 

Dari beberapa uraian di atas yang dibutuhkan sesungguhnya adalah sebuah proses dialog dan integrasi nilai-nilai agama yang digali melalui sumber utamanya yaitu al-Quran. Karenanya, kitab ini sesungguhnya bukan sekadar untuk dibaca, tetapi lebih dari itu ditelaah dan dihayati sebagai sebuah auto-reflective awareness yang kemudian akan menghasilkan ketenangan dan kedamaian sejati dalam kehidupan.  

Kegalauan manusia modern yang terjadi hari ini adalah akibat hilangnya proses dialog antara makhluk dan Sang Khalik,  dimana tradisi dialog ini dahulu (di alam zurriyat) juga pernah terjadi dengan Sang Khalik. Manusia seakan lupa dan mengabaikan proses kelanjutan dialog tersebut sehingga ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya. Padahal salah satu bentuk dialog tersebut adalah ketika manusia membaca, menelaah,  mempelajari dan mengamalkan nilai-nilainya.  

Sungguminasa 3 Mei 2024