Idul Fitri Bukan Hari Kemenangan, Tapi Kelulusan

  • 08:21 WITA
  • Administrator
  • Artikel

            Euforia hari raya Idul fitri setiap tahun di masyarakat muslim di seluruh penjuru Nusantara sudah merupakan tradisi yang lumrah. Gema dan lantunan suara takbir dan tahmid, meski memang merupakan sunnah, tetapi lebaran Idul Fitri seakan tidak komplit tanpa pekikan takbiran pertanda kemenangan. Kemenangan apa? Kata ustad, kemenangan dari perang melawan hawa nafsu. Karena alasan kemenangan itulah dikumandangkan takbir dan tahmid, Allahu Akbar Allahu Akbar wa lillahil hamdu.

            Pertanyaannya, apakah kita merayakan kemenangan? Jika dianggap menang dalam perang melawan hawa nafsu selama bulan Ramadhan, apakah hawa nafsu memang ‘kalah’ atau ‘hanya diam sejenak’, lalu setelah lebaran berlalu dia siap menerkam kita lebih ganas dari bulan-bulan sebelumnya? Orang yang merasa menang itu biasanya menganggap lawannya sudah kalah dan tak berdaya. Menang karena merasa dia sudah aman dari pengaruh lawannya yang dia kalahkan, meski rasa itu pun bersifat subyektif dan tidak terukur.

            Idul Fitri bukan event kemenangan, karena lawan kita tidak pernah kalah dan tidak bakalan berakhir. Dia hanya rehat sejenak, memberi kita kesempatan untuk me’refresh’ pertahanan iman, me’reload’ amunisi ketakwaan dan mensucikan hati dari ketidakikhlasan yang melemahkan benteng pertahanan. Bagi yang hanya me’refresh’ perutnya di kala berpuasa, maka perutnya lah yang akan menjadi sasaran serangan dari lawan pasca puasa Ramadhan berakhir. Dalam hadis disebutkan bahwa setan-setan dibelenggu sejak awal Ramadhan, tetapi pastinya akan dilepas setelah Idul Fitri. Bayangkan, seekor anjing galak yang dirantai selama sebulan, lalu dilepas….apa yang terjadi?

            Menurut pandangan penulis, Idul Fitri adalah event kelulusan. Lulus dari proses pendidikan Ramadhan. Lulus dari ujian passing grade kesabaran untuk naik ke level berikutnya. Kelulusan berbeda dari kemenangan. Anak sekolah yang lulus jangan merasa menang. Menang melawan siapa? Menang melwan guru? Na’uzubillah. Karena itu kita tidak pernah setuju anak-anak sekolah yang habis ujian akhir sekolah merayakan kemenangan dengan corat-coret baju, konvoi dan balapan di jalanan. Inilah persepsi yang salah tentang kelulusan.

            Kelulusan adalah pencapaian tahap tertentu untuk beranjak menjalani tahap berikutnya dan seterusnya hingga mencapai puncak pencapaian yang diharapkan.  Ibaratnya begini, jika ada siswa SLTA yang lulus UAN, maka dia telah dianggap memperoleh kompetensi untuk menjalani tahap di atasnya, yaitu perkuliahan di perguruan tinggi. Tetapi jangan bayangkan bahwa ujian di perguruan tinggi akan sama atau lebih mudah dari ujian di Tingkat SLTA. Demikian halnya mahasiswa S1 yang lulus dan melanjutkan ke jenjang S2, maka dia mestinya bersiap menghadapi tantangan dan ujian yang lebih tinggi level kesulitannya dari ujian di S1.

            Kita yang telah berpuasa sebulan penuh yakinlah telah lulus dan naik grade (insya Allah), tetapi bukan menang. Dengan kelulusan itu, kita akan hadapi setan-setan yang lepas dari kandangnya dan ujian-ujian yang lebih berat ke depan. Ujian nafsu makan dan minum, ujian mata dan mulut, ujian kemarahan dan dendam, ujian pikiran-pikiran kotor dan rencana jahat, ujian kedengkian dan iri hati, ujian ambisius dan keserakahan, ujian kesombongan dan mengecilkan orang, ujian kezaliman dan ketidakmanusiawian, ujian riya, sum’ah dan pamer kelebihan, ujian kecurangan dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, ujian dari hedonisme dan materialisme harta dan jabatan, ujian kemalasan dan ketidakpedulian, ujian kekikiran dan mempersulit orang, ujian dari godaan maksiat dan sebagainya… Apakah kita masih merasa menang?