Perlakuan manusia terhadap Tuhan tampaknya tidak seperti apa yang diucapkan. Dalam sejumlah kesempatan, saya pergi ke pusat perbelanjaan atau mengikuti kegiatan di beberaoa hotel di sejumlah kota di Indonesia. Saya biasa menemukan tempat shalat (musalla) yang kurang layak untuk djadikan tempat ibadah; sempit, kumuh, dan tampak termarginalkan. Akibatnya, orang yang mau berwudu dan shalat harus antri, belum lagi alas sujud (sajadah) tampaknya jarang dicuci. Wewangian toilet mall atau hotel mengalahkan ruang musalla. Gedung-gedung seperti hotel, mart, mall, public area itu tampaknya didesain hanya untuk pusat perbelanjaan, hiburan ataupun keramaian.
Di Fikih, syarat sahnya shalat memang tidak ditentukan oleh ukuran atau model tempat shalat, yang terpenting suci dan terbebas dari najis. Akan tetapi, ini tidak boleh menjadi sebuah alasan untuk mengabaikan aspek estetis dalam menyiapkan fasilitas ibadah. Untungnya, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang masih toleran kepada hambaNya.
Saat ini manusia memang tengah memasuki era post-modernisme, sebuah era yang ditandai dengan hadirnya teknologi modern berbasis digital. Sebuah era dimana peran-peran manusia perlahan namun pasti diambil alih oleh peran mesin. Sebuah era dimana fenomena kebenaran tidak lagi berbasis data tetapi lebih kepada opini.
Sebagian masyarakat modern didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan menafikan aspek spiritual. Akibatnya terjadi desakralisasi kehidupan. Realitas hidup adalah “kini dan kekinian”. Masa depan, apalagi hidup sesudah mati merupakan hal yang nisbi. Itu sebabnya banyak manusia berani melanggar larangan Tuhan sebagai efek menguapnya iman di dalam dada. Agama hanya dianggap sebagai sebuah identitas simbolik, bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam perilaku. Karena itu, terjadi pembusukan nilai agama akibat agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas simbol/topeng.
Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Agama dan Tuhan seakan diabaikan, iman menguap bahkan ada kecenderungan manusia modern memerankan dirinya sebagai “tuhan” di atas bumi dan membuang dimensi transcendental dari kehidupannya. Manusia mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Tuhan hanya ditempatkan di lorong-lorong sempit.
Nestapa terbesar seorang manusia bukan pada pengabaian atas tempat dimana dia bersujud, tetapi dia sudah menyingkirkan Tuhan dari lubuk atau lorong hatinya. Ini akibat manusia sudah menuhankan jabatan, uang dan aksesori kehidupan sebagai lambang kesejahteraan. Manusia terlalu berlebihan mengagungkan, mengultuskan dan mencintai tokohnya melebihi cinta kepada Tuhannya.
Ingatlah cerita Ibrahim as dan anaknya Ismail as. Meski baru berjumpa, bercengkerama dan bercerita, dan mencurahkan rindu yang membuncah akibat lamanya tidak berjumpa, tetapi ketika Allah meminta Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Ibrahim rela dan ikhlas melepaskan anaknya demi ketaatan dan cintanya kepada Allah. Ibrahim as memang sangat menyayangi dan mencintai anaknya Ismail, tetapi kecintaan kepada Allah berada di atas segalanya. Allah di tempat di posisi tertinggi di dalam samudera hati ibarahim as.
Tampaknya manusia perlu mekakukan instal ulang agar folder ketuhanan jelas posisinya di dalam hatinya. Jika tidak, maka virus-virus yang terdapat di dalam hati terus mewabah, dan menjadi penyakit akit, bukan saja akan memojokkan Tuhan di lorong hati yang sempit, bahkan mengusir Tuhan dari nurani manusia..Jika ini yang terjadi secara kolektif, maka negeri ini kian terjepit.
Selamat menunaikan ibadah puasa