Berburu takjil atau yang dikenal dengan War Takjil Non Islam (Nonis) di bulan Ramadhan ini merupakan sebuah fenomena yang muncul sebagai bentuk kerukunan antar-umat beragama. Orang non-Muslim turut berpartisipasi dalam berburu takjil yang selazimnya digunakan untuk berbuka puasa. Aktivitas Nonis ini merupakan realisasi dari Surat Keputusan Rapat Gereja. Ini menunjukkan bahwa Ramadhan tidak hanya membawa keberkahan bagi umat Islam, tetapi juga bagi semua orang
Dadang Kahmad, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menilai fenomena ini sebagai hal wajar dan merupakan bentuk toleransi antar-umat beragama. Hal ini juga membawa manfaat bagi para penjual takjil, yang sebagian besar merupakan pekerja kecil dari UMKM yang mendapatkan manfaat ekonomi yang signifikan dari peningkatan permintaan selama bulan Ramada. Fenomena ini juga menjadi sarana untuk memperkuat sikap toleransi, yang bermanfaat bagi kesehatan mental.
Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Bagong Suyanto mengungkapkan bahwa fenomena ini bisa mempererat tali persaudaraan antar umat beragama, menunjukkan bahwa tali persatuan masih terikat dengan erat
Dalam konteks ini, fenomena takjil antara orang Muslim dan non-Muslim di Indonesia menjadi simbol bahwa Ramadan membawa keberkahan bagi semua orang, tanpa memandang agama dan latar belakang. Gerakan War Takjil ini sebenarnya secara tidak langsung, di samping membantu UMKM, juga membangun kesadaran teologis tentang arti pentingnya hidup bersama dan bersesama.
Membangun kesadaran teologis semacam ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengubah sistem kepercayaan (agama) atau bukan pula sebagai apologetik, tetapi semata-semata sebagai alat untuk memahami fungsi dan ciri naluri (fitrah) manusia. Seseorang yang telah mempercayai suatu kepercayaan yang kokoh tentang kebenaran agama yang dianutnya, akan bisa menghargai pengalaman-pengalaman kerohanian orang lain. Apalagi menghargai pengalaman kerohanian orang lain, sesungguhnya adalah implementasi dari sesuatu agama yang telah dianut.
Karena itu, dalam rangka menerjunkan diri ke dalam sebuah kesadaran teologis tidak perlu menyisihkan diri kendati dalam waktu sementara dari kepercayaan yang dianut, agar bisa bertindak objektif terhadap orang lain. Agama dan kepercayaannya tetap dipegang teguh sedangkan perbedaan dan persamaan antara agama yang dipeluknya dengan agama orang lain harus ditunjukkan. Berdasarkan pengertian seperti inilah maka rasa simpatik dan saling menghargai akan dapat ditegakkan, kesepahaman dalam perbedaan yang oleh H. Mukti Ali disebut sebagai agree in disagreement dapat dibiasakan.
Problematika krusial yang dihadapi masyarakat modern sekarang adalah tumbuhnya kecenderungan egosentris, primordial dan sektarian, dan hadirnya ideologi radikal transnasional yang tidak sesuai dengan kultur dan adat budaya setempat . Oleh karena itu, diperlukan sebuah laboratorium yang mendidik masyarakat untuk dapat hidup dalam perbedaan, baik warna kulit, suku, dan agama, dan bersikap kritis terhadap ideologi luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Kegiatan saling membahu dan membantu seperti fenomena di aatas akan melahirkan kesadaran multikulturalisme, menumbuhkan rasa saling menghargai dan kemampuan untuk hidup bersama. Kita berharap akan tumbuh generasi-generasi yang mampu mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara atas landasan kedamaian, kebersamaan dan kasih sayang. Dalam sebuah seminar Qasim Mathar berkata: ”Tidak usah merisaukan generasi yang sedang berkonflik sekarang. Bangun saja TK yang di dalamnya ditanamkan dan dirawat rasa kasih sayang terhadap dirinya, keluarga dan orang lain, sehingga suatu saat ketika mereka dewasa dan memasuki usia siap berkonflik, kasih sayang dan kebersamaan yang terawat itu membimbing mereka dalam hidup bersama dengan orang lain yang berbeda.
Selamat menunaikan ibadah puasa.