Agama dan Jebakan Kultural

  • 08:23 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Suatu hari Panglima pasukan kerajaan Romawi merasa tidak percaya dengan situasi yang menimpa pasukannya karena selalu mengalami kekalahan melawan pasukan Islam. Menurutnya, sangat tidak mungkin pasukannya yang terlatih, memiliki jumlah yang banyak dilengkapi dengan persenjataan lengkap menelan kekalahan dari pasukan Islam yang jumlahnya relatif kecil. Untuk itu, Panglima mengutus mata-mata (spionase) menyelinap masuk ke wilayah pasukan Islam untuk menyelidiki rahasia kekuatan pasukan Islam yang selalu sukses menaklukan wilayah yang dikuasai oleh tentara Romawi. Dari hasil investigasinya,  mata-mata (spionase) tersebut melaporkan kepada Panglima sebuah rahasia di balik kekuatan pasukan pasukan Islam. Menurutnya,mereka memang relatif kecil dan sedikit, tetapi mereka merupakan segolongan kaum yang jika  malam hari datang, mereka seperti pendeta (orang yang taat beribadah), dan jika  siang hari tiba, mereka seperti singa.”  

Laporan seorang spionase ini menggambarkan bagaimana etos masyarakat/pasukan Islam pada saat itu. Mereka bukan saja  taat beribadah ritual di malam hari, tetapi sangat energik di siang hari. Rahasia kesuksesan mereka adalah kemampuan memadukan antara semangat ritualitas dengan  nilai fungsionalitas. Islam memang agama langit, tetapi nilai-nilainya harus membumi.  Oleh karena itu, belum sempurna keislaman dan keimanan seseorang jika beragama hanya sebatas simbolik-dekoratif, tidak mampu mengaktualisasikan nilai ke dalam aksa nyata.

Agama bukanlah sebuah produk pemikiran manusia seperti budaya yang penuh dengan simbol dan dekorasi, tetapi agama merupakan institusi kewahyuan dan keilahian yang Allah berikan kepada umat manusia. Ia sarat dengan nilai dan makna. Essensi agama bukan rangkaian sejumlah simbol seperti di dalam budaya, akan tetapi ia merupakan sistem nilai fungsional yang harus terefleksi dalam setiap gerkan dan tindakan manusia. Hanya saja, disebabkan agama datang dan hadir di tengah masyarakat yang tidak hampa dari budaya, maka agama seringkali berbaur dengan budaya. Di suatu waktu,  agama mampu mewarnai budaya, sebaliknya terkadang budaya juga berasimilasi dengan agama. Akibatnya, para penganut agama terkadang sulit membedakan mana agama an sich dan mana budaya.

Menurut Clifford Geert (1995 ) budaya memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberagamaan seseorang, bahkan manusia tidak mampu melepaskan diri dari kehidupan yang memang dikelilingi oleh budaya. Karena manusia hidup pada sebuah lingkungan yang berbudaya, maka setiap individu yang hidup di dalam sebuah lingkungan tertentu, sedikit banyak akan dipengaruhi oleh tradisi lingkungan tersebut. Dari sinilah kemudian nilai agama berubah menjadi ritual-formal. Kondisi ini menurut ,  Nurchalis Madjid (1992), membawa akibat adanya realitas keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universalitas agama, yaitu keanekaragaman terkait dengan tatacara dan espressi ritual keberagamaan  di dalam masyarakat, dengan sedikit mengabaikan nilai fungsional yang terkandung di dalamnya. Akibatnya keberagamaan manusia menjadi kering. Yang tumbuh dipermukaan adalah pertikaian masalah khilafiyah akibat ritualitas agama yang berbeda, sementara moralitas dan akhlak yang menjadi esensi utama agama justeru terabaikan. 

Agama mengajarkan manusia untuk pandai-pandai membaca realitas sosial guna memperkaya perspektif batin dalam menghadapi tantangan moral zaman. Doktrin aqidah, syariah dan muamalah yang terdapat di dalam agama (baca; Islam) harus menjadi lebih fungsional dan menjadi pegangan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan sebaliknya terkungkung dalam jebakan kultural. 

Aqidah fungsional mewakili dimensi afektif (religious conscousness) yang dapat menjadikan manusia memiliki  mental dan moral yang baik, teguh dan kokoh, karena manusia mampu membebaskan diri dari tirani hawa nafsu yang selama ini boleh jadi menjadi “agama baru” di dalam kehidupannya.  Syariah fungsional mewakili dimensi kognitif (ilmu) yang mendorong manusia melahirkan karya dan kreativitas, sehingga tidak lagi larut dan terjebak pada persoalan furu’iyah yang cukup menghabiskan energi untuk selalu berdebat dan saling menyalahkan. Sedangkan muamalah fungsional mewakili dimensi psikomotorik agar manusia cerdas dalam kehidupan bersama dan bersesama. Perbedaan suku, agama, ras, bahasa dan warna kulit tidak lagi dipandang sebagai perbedaan yang membawa kepada perpecahan, tetapi sebuah keniscayaan keragaman yang menghantarkan masyarakat Indonesia kepada persatuan.

 

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa