Malam ini puasa kita memasuki malam ke sebelas. Seorang teman mengajak saya untuk pergi umrah. Lantas saya menanyakan apa motivisanya untuk umrah. Dia menjawab untuk memburu dan mendapatkan Lailat al-Qadar. Di bulan Ramadhan, jumlah Jemaah haji terutama di pertengahan hingga akhir Ramadhan hampir-hampir menyamai jumlah ibadah haji. Meski biaya relative mahal tapi masyarakat tidak peduli dengan jumlah yang dikeluarkan, tujuannya hanya satu; memburu malam Lailatul Qadr di Tanah Suci yang tentunya kemuliaannya sangat luar biasa dibanding beribadah di tanah air. Apa yang diinginkan teman saya itu tidak salah, dia memiliki niat untuk beribadah di tanah suci sekaligus ingin mendapatkan ”malam berkah itu” tempat yang suci.
Dalam perspektif sejarah, malam qadar yang pernah ditemui Nabi Muhammad saw untuk pertama kalinya adalah ketika beliau ber-tahannus (merenung dan menyendiri) di Goa Hira. Puncaknya di malam 17 Ramadan, di saat Nabi mencapai titik kesuciannya, maka turunlah Jibril (ruh al-qudus) membawa ajaran yang kemudian membawa perubahan total dalam perjalanan hidupnya dan peradaban manusia di atas muka bumi ini. Menurut Quraish Shihab, lailat al-qadar memiliki kemuliaan karena tiga hal. Pertama, di malam itu Allah menetapkan perjalanan hidup manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Kedua, di malam itu al-Quran juga diturunkan sebagai titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Ketiga, malam itu malaikat memenuhi bumi, sehingga bumi seakan menjadi sempit, mereka datang membawa kedamaian.
Ketiga makna di atas menurut Quraish Shihab pada hakikatnya dapat menjadi benar karena malam tersebut adalah malam kemuliaan yang bila didapat maka Allah akan menetapkan masa depan manusia dengan penuh kemuliaan, dan kedamaian. Bagi mereka yang mendapat lailat al-qadar, bisikan halus dari malaikat akan senantiasa menghiasi kehidupan pribadinya, sehingga bisikan setan tidak mampu menyelinap di dalam relung-relung jiwanya.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai turunnya ini. Ibn Hajar al- Asqalani, seorang ahli hadis, menganggap lailat al-qadar sudah tidak turun lagi seiring berhenti (purna) turunnya wahyu (al-Quran). Akan tetapi, sebagian ulama yang lain masih mempercayai bahwa malam kemuliaan itu selalu hadir di setiap bulan Ramadan. Hal itu didasarkan pada sejumlah hadis Nabi yang menginformasikan tentang datangnya malam kemuliaan tersebut. Atas dasar itulah, masyarakat berlomba-lomba mengejar malam lailatul qadr dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah di malam-malam ganjil, yaitu mulai malam 17, 19, 21 dan seterusnya. Ada pula yang menyatakan mulai malam ke 21 dan seterusnya.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap orang yang memburu malam lailat al-qadar tanpa bekal spritual yang memadai pasti mendapatkannya? Untuk diketahui bahwa semua ritualitas ibadah yang diajarkan Rasulullah saw berujung pada pembentukan karakter mulia sebagai esensi dari akhlak al-karimah. Dengan demikian, seberapa pun jumlah (kuantitas) pahala yang dijanjikan Allah kepada seorang hamba yang beribadah (ritual), akan selalu dikali (sebagai ukuran) dengan nilai akhlak yang tercermin dalam kehidupannya. Artinya jika pahala ibadahnya seratus ribu, tetapi akhlaknya dinilai Tuhan nol (0), maka bisa jadi 100.000 x 0 = 0.
Lailatul Qadr menurut penulis tidak perlu diburu, cukup ditunggu saja. Ia merupakan tamu agung yang memang tidak semua orang dapat dikunjungi, akan tetapi dia pasti akan datang kepada orang-orang yang telah mempersiapkan diri akan kehadirannya sejak awal Ramadan hingga akhir. Itulah sebabanya informasi hadis menyebut turunnya di pertengahan, sebab jiwa manusia yang puasa dengan keimanan telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan hadir menemuinya.
Menurut Quraish Shihab, apabila jiwa telah siap, manusia sudah mulai mendekati titik fitrahnya, dan kesadaran telah mulai bersemi, maka lailat al-qadar akan datang menemuinya. Ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar (penentu) bagi sejarah perjalanan kehidupannya di masa-masa mendatang. Malaikat akan senantiasa menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupan yang baru kelak di kemudian hari.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis beranggapan lailat al-qadar tidak mesti diburu. Bagi orang-orang yang telah mempersiapkan diri dan membersihkan jiwanya, cukup baginya menunggu kedatangannya di manapun dia berada, sebab lailat al-qadar akan mengunjungi mereka yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri, bukan sebuah persiapan instan. Wallahu A’lam
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa