Artificial Intellegence (AI) dan Dehumanisasi

  • 10:08 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Saat ini manusia tengah memasuki sebuah era yang disebut era postmodernisme, atau abad megamekanis, atau orang “zaman now” mengenalnya sebagai era digital, sebuah masa dimana peran-peran manusia perlahan namun pasti digantikan oleh peran mesin. Manusia yang sejatinya mengendalikan produk teknologi yang mereka ciptakan, tetapi sebaliknyua justru teknologi itu yang mengendalikan manusia.Akibatnya manusia kehilangan peran sentral  dan mengalami kecemasan dan kegalauan di tengah hiruk-pikuk masyarakat industry 5.0.

Tech emotionaographe…”Kita mendesain teknologi dan teknologi, pada gilirannya, mendesain kita,  demikian kata Pamela Pavliscak. Stephen Hawking ilmuan Inggris abad modern pernah mengatakan, ”kecerdasan buatan”  supercerdas tak diragukan pasti sangat bermanfaat  bagi manusia jika ia memenuhi tujuan yang diharapkan. Akan tetapi, jika tujuan itu bertentangan dengan kepentingan manisia,  maka manusia akan mengalami masalah besar. Bill Gates juga  merasa khawatir dengan kecerdasan super ini. Elon Musk menjuluki kecerdasan buatan sebagai risiko fundamental bagi eksistensi peradaban manusia, meski itu tak menghentikannya dari upaya mengimplannya ke otak kita.

Pernyataan para ilmuwan dan para produsen teknologi serta laporan majalah tersebut menunjukkan kecemasan bahwa kecerdasan buatan seperti AI  bakal menggerus peradaban manusia, sekaligus dapat mendehumanisasi. Tatkala kecerdasan buatan mendegradasi manusia, pada saat itu pula ia melampaui manusia. ”Metaverse jauh menembus batas dan lebih berkuasa, jika dibandingkan pemerintahan mana pun, bahkan bisa jadi Tuhan di muka bumi,” kata Tim Sweeney, CEO Epic Games.

Dalam sebuah laporan, Danny JA menceritakan bahwa penerbitan The Conversation, September 2023, memberi tahy apa yang terjadi Gereja, Kuil, dan Masjid.  Di gereja Protestan Paul Church pada, summer 2023, sebanyak 300 umat khusyuk mendengar khotbah agama dari pendeta berupa robot artificial intelligence. Hal yang sama terjadi di Kuil Kodai-ji Buddhist Temple di Jepang. Bahkan sejak tahun 2019 artificial Intelligence sudah masuk kuil ini. Umat di sana kapan saja dapat meminta Biksu Kannon Mindar yang bertenaga artificial Intelligence, memberikan nasihat berdasarkan doktrin Buddha. 

Di Masjid Agung di Saudi Arabia, sejak tahun 2023, juga  ditaruh robot artificial Intelligence untuk melayani pertanyaan umat dalam 11 bahasa. Umat bisa meminta informasi siapa yang menjadi imam atau bisa juga meminta siraman rohani melalui pembacaan ayat-ayat AlQuran. Umat juga dapat berinteraksi via  video dengan ulama lokal yang ada dalam list. Kondisi ini menjadi sebuah refleksi sekaligus pertanyaan bagi masyarakat,  “Apakah akan datang sebuah masa dimana peran ulama/ust, pendeta, biksu, dan tokoh agama lain akan digantikan oleh robot artificial intelligence?”

Kemampuan AI akan melampaui individu ulama manapun, pendeta manapun, biksu manapun, soal luasnya dan dalamnya informasi agama. Informasi yang dimasukkan ke dalam AI itu mencakup, semua ayat dalam kitab suci, konteks sosial ketika teks itu lahir, perkembangan doktrin dari waktu ke waktu sepanjang sejarah, ceramah agama terbaik yang pernah ada, puisi- puisi religius terbaik yang pernah ditulis, dan kemampuan melayani umat dalam 40 bahasa internasional. “Hal di atas mustahil dikuasai penuh oleh satu individu ulama manapun. Tapi AI bisa menguasainya, bahkan mengolahnya,”  (Denny JA)

Di samping itu  layanan 24 jam tanpa istirahat mem buat  AI akan lebih disenangi.  AI bisa ditanya kapan saja, termasuk pukul 2.00 malam, ketika umat susah tidur dan kesepian. “Layanan ini semacam ini mustahil bisa diberikan individu ulama manapun.” Ulama, pendeta, biksu  dan tokoh agama lainnya biasa bias pada mazhab tertentu. Mereka cenderung mengikuti cara pandang satu aliran saja. Sedangkan AI, dapat memberikan pandangan perbandingan, dari berbagai interpretasi. Ia dapat pula mencari sisi universal dan abadi dari satu doktrin agama.


Selamat Menunaikan Ibadah Puasa