Puasa bukan sekedar sebuah kewajiban syari’yah, tetapi menjadi sebuah kebutuhan segenap makhluk yang harus dipenuhi. Itulah sebabnya klausa perintah puasa (Q.S. Al-Baqarah;183) menggunakan kalimat pasif kutiba alaikum al-shiyam (diwajibkan atas kamu berpuasa). Menurut M. Quraish Shihab (2005; 534) pemilihan bentuk redaksi seperti ini seakan ingin menjelaskan, seandainya pun bukan Allah yang mewajiban puasa, maka manusia akan menyadari manfaat puasa dan akan mewajibkan atas dirinya sendiri. Karena itulah, dalam satu waktu, motivasi melakukan puasa bukan semata-mata atas dorongan agama, tetapi juga demi kesehatan, kecantikan, dan lain-lain.
Ibnu Katsir (1999; 345) mengatakan bahwa sejak Nabi Nuh as hingga Nabi Isa as. puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Begitu pula Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa selama empat puluh hari. Nabi Daud sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw. sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Arab Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura. Setelah itu, umat Islam diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan berdasarkan wahyu kepada Nabi Muhammad saw pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Menurut R. Binet (1985; 450) setiap bangsa atau umat melakukan puasa dengan motivasi, bentuk, macam, dan cara yang berbeda. Bangsa Roma, Yunani, Mesir Purba, Natches di Amerika Tengah, dan Cina berpuasa untuk memuja ruh nenek moyang, membersihkan dosa dan persiapan menjadi pemimpin atau ketua agama. Mereka percaya puasa mengajarkan kesabaran dan ketahanan; dua nilai yang diperlukan untuk kejayaan dalam perjuangan melawan musuh yang nyata dan nafsu yang tidak nyata. Suku Indian di Amerika Utara berpuasa sebelum atau sedang dalam ikhtiar untuk mendapatkan visi-misi. Mesir Kuno, Babylon purba dan beberapa suku di Peru sebelum zaman Columbus menganggap puasa sebagai satu cara untuk menebus dosa serta untuk menunjukkan kesedihan atas kesalahan yang telah dilakukan. Kaum Sabean dan Munawiyyun (kelompok keagamaan) di Persia dan Mesopotamia berpuasa dengan menghindari makanan-minuman tertentu (Nurcholis;1994;413)
Puasa ternyata tidak saja dilakukan oleh manusia, tetapi oleh sejumlah binatang dan tumbuhan. Adam Schwart (1995) seorang pakar flora-fauna dari Australia pernah mengadakan penelitian tentang siklus kehidupan flora-fauna dalam satu tahun. Hasilnya sungguh menakjubkan, ternyata sejumlah tumbuhan dan binatang melakukan “ritualitas” puasa di dalam siklus kehidupan satu tahun.
Puasa mengajarkan umat Islam untuk menumbuhkan nilai-nilai humanisme, terutama melalui pengendalian diri yang difokuskan kepada dua hal yang menjadi sumber kebutuhan utama yaitu pengendalian diri dari kebutuhan perut dan pengendalian diri dari nafsu syahwat.
Fakta sejarah membuktikan, banyak manusia tergelincir ke lembah nestapa dan memporakporandakan sisi manusia dan kemanusiaannya, karena tiada mampu mengendalikan hawa nafsunya dalam memenuhi kebutuhan perutnya berwujud materi. Banyak manusia terlibat dalam praktik korupsi, tiada lain penyebabnya karena ingin menguasai banyak harta, tanpa memperhatikan lagi dari mana sumbernya, apakah halal atau tidak. Mereka ingin menjadi orang yang memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Bagi mereka, materialisme adalah segalanya dan menjadi ukuran kebahagiaan.
Tak dinafikan bahwa masyarakat modern hari ini mulai didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan menafikan aspek spiritual. Agama hanya dianggap sebagai sebuah identitas simbolik, bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam perilaku. Konsekuensinya terjadilah pembusukan nilai agama akibat agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas simbol/topeng. Akibatnya, tujuan hidup mulai kabur, lembaga perkawinan tidak dianggap lagi sakral, rumah tangga berantakan, adat dan tradisi menjadi rusak dan iman mulai menguap dari lubuk hati manusia.
Karena itu, berpuasa bermakna upaya untuk meraih fitrah yaitu kembali kepada agama yang benar menjadikan hubungan kita dengan Tuhan selalu baik, sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran yang kecil atau besar dalam ketentuan-ketentuanNya. Agama yang benar mempertebal tenggang rasa sehingga terhapuslah dendam, dengki, dan prasangka yang tak beralasan antara sesama manusia. Yang ada hanya rasa kasih dan cinta serta kesadaran dan keinsafan bahwa lautan lebih luas dari daratan, kebutuhan hidup seseorang hanya dapat terpenuhi melalui bantuan orang lain. Agama yang benar, menjadikan seorang hidup bersahabat dengan lingkungannya, sehingga benda-benda tak bernyawa sekalipun, dianggap sebagai makhluk-makhluk hidup yang memerlukan pemeliharaan, persahabatan dan kasih sayang. Humanisme tumbuh dalam kehidupan untuk membentuk kekuatan kolektif membentuk masyarakat yang berperadaban irfani.
Selamat menunaikan puasa