Menulis Sebelum Renta: Memahami Pikiran Penulis dan Sastrawan yang Cemerlang

  • 11:26 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah (Alumni Bahasa dan Sastra Inggris & Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute)


Di kelopak bunga yang sedang mekar berwarna pink agak bercampur kecoklatan itu, daunnya hijau menetes air Tuhan. Sebutir demi butir jatuh ke bumi, menghujam ke dalam dan ke dalam bah tersaring hingga kembali menutrisi akar wajah dan metabolisme makhluk Tuhan segala.

Adakah diantara kita yang paham maksud tulisan diatas? Tidak semua kita langsung menangkap makna dan maksud penulis setelah sebelumnya kita diam dan pikiran dipusatkan di dalam pembacaannya. Membaca adalah menulis, dan menulis adalah membaca. Seorang sastrawan atau penyair menggerakkan jari-jemari mereka tanpa kaku dan takut untuk dihakimi, diludahi, atau dikumat-kumat agar dilempar tulisan mereka di dalam tong sampah. Mereka adalah yang ingin membaca ketika menulis sebuah tulisan di saat tulisan tadi adalah proses pembacaan bagi seorang penulis.

Mengapa banyak sudah di antara kita yang hanya sekadar “ingin” menulis? Padahal menulis adalah membaca kembali apa yang anda punya dan merepresentasikan pemahaman dan pikiran alam sadar atau tidak sadar kemudian menyelibak ke permukaan alam sadar untuk meng-ada-kan pikiran kita yang masih abstrak tadi menjadi sebuah fenomena yang disebut tulisan.

Telah terlalu banyak kita bertanya sejak dari kecil, remaja, masuk usia dewasa bahkan telah tua; di dalam jagad diri kita yang dalam, kita menanyakan apa saja fenomena dan neumena yang ada di depan dan di dalam kita. Kita adalah makhluk penuh keingintahuan dan penanya; entah itu kursi, meja, bagaimana cara kerja pesawat terbang, kapal, cara pandai bercakap multi-bahasa, berimajinasi dan merancang rencana-rencana, yang kesemuanya kita lakukan bukan diekspresikan ke luar dunia eksternal tapi kita lebih banyak membatin, yakni kita berbicara di dalam diri kita sendiri. Termasuk kita sangat ingin tahu bagaimana atau “apa” hal-hal yang dapat membuat kita pandai untuk menulis?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah sekian dari banyak bentuk tanya tapi tak jarang kita temui ia nihil tanpa aksi nyata. Anda tidak bisa dicintai oleh orang lain kecuali anda melakukan aksi; yaitu mengaktualisasikan hal-hal yang anda “ingin” agar berubah “menjadi” hal-hal konstruktif dan penuh positif bagi hidup anda dan manusia lain.

Anda bertanya ingin belajar menulis, namun kemudian berhenti tanpa makna dan aksi, tidakkah langsung untuk mewujudkan sendiri do’a dan pujaan impian yang biasa anda panjat-harapkan pada Tuhan lebih agung dibanding hanya berimajinasi hanya di dalam pikiran? Kabulkan permintaan anda, tanpa harus “membebani” Tuhan; barangkali itu sebab mengapa Tuhan berfirman dalam sebuah riwayat “Hamba yang kuat, lebih Aku senangi dibanding mereka hamba-Ku yang lemah (melemah-lemahkan potensi diri yang telah Aku beri)”.

Tuhan menginspirasi manusia agar mengenal dan bermakna menjalani hidup. Diharuskan bermakna sejak dalam pikiran dan menciptakan karya potensial demi kemakmuran, kebaikan, dan kelestarian kemanusiaan di sebuah pemukiman yang kita sebut Bumi. Tempat kita yang terbatas, menuntut kita agar kembali pada Yang Tak Terbatas.

Hari ini dengan sadar manusia menendang-nendang tumpukan buku, kertas, dan alat tulis yang terhampar di kehidupan sehari-hari; tanpa ada yang mau mencoba menggunakan alat-alat Tuhan tersebut agar mencerahkan peradaban; peradaban aksara, peradaban kita. Padahal jika kita membaca dan menulis maka sebenarnya kita sedang menyempurnakan diri agar di Bumi kita dapat bahagia dengan ilmu dan setelah meninggalkan dunia ini kita juga bahagia bercengkerama bersama Tuhan.

Sedang gawai (smartphone) dalam sebutan peradaban modern yang sangat kita kenal. Manusia ketika beraktivitas dalam ke-biasaan-nya sehari-hari lalai pada keypad, keyboard layar gawai. Padahal jika kita lebih sadar, gawai dapat dijadikan media untuk kita menulis; menciptakan esai, artikel, bahkan tulisan apa saja; esai ini pun lahir dari gerakan dua jempol jari yang bersentuhan dengan keypad gawai saya. Bermacam jenis rupa dari berteknologi cerdas yang membuat alat-alat ini merana tanpa makna; hanya dijadikan tempat subur terpapar budaya dekonstruktif; budaya Pop, terpapar budaya langsung jadi, miskin makna, artifisial, dan penuh delusi.

Fakta jika hampir tak ditemukan lagi dari kita yang tak memiliki gawai di tangan, yang diletakkan di kantong celana, dada, atau tas-tas beraneka bentuk dan jenis di tengah buasnya kita mengejar simbol, nama, label dari apa yang kita beli kemudian akhirnya buta untuk meng-aktual-kan jiwa-jiwa insan kamil; jiwa kita sebagai manusia aktual.

Pertanyaannya, kapan kemudian tangan saya sekarang seharusnya berhenti agar ditemui klimaks pukulan diksi yang tepat dan telak, agar pembaca dengan segera mengambil jari-jari jemarinya menggerakkan keypad gawai; akhirnya dihasilkan sebuah aksara?

Saya beri waktu yang tak ditentukan agar sekarang anda merealisasikan do’a-do’a dan keinginan anda yang muluk selama ini daripada kita berlagak bah seorang majikan meminta segala rupa pada Tuhan; tugas kita sekarang yang harus diwujudkan sekuat kemampuan adalah tugas Kemanusiaan, Ketuhanan, dan Ke-alam-an bagi diri yang sublim di dalam diri seorang manusia dan dunia eksternal yang ada di luar diri.

Maukah anda percaya bagaimana rasanya menjadi seorang yang bebas bagai seekor burung elang terbang penuh gembira mengepakkan kedua hal; kertas dan penanya agar tembus melintasi cakrawala, masa, dan realita ruang yang berbeda? Carl Jung (kawan saya yang seorang Filsuf) katakan pada saya beberapa hari lalu bahwa di dalam diri seorang sastrawan atau penyair, ada hasrat yang kejam untuk mencipta.

Maukah anda menggendong dan bercengkerama bersama anak kandung anda sendiri yang imut, kuat, berilmu, dan segala hal yang melekat padanya yang membuat anda banyak memuja dan memuji Pencipta dengan hadirnya anak yang anda cinta? Saya sangat gembira dan mengajak berdasarkan hati saya bahwa anda juga mampu mempunyai anak dan menggendong dengan gembira-bahagia anak darah dan daging anda sepenuhnya. Saya telah gembira dengan hadirnya anak yang saya aqiqahkan dengan hati, do’a, dan keringat yang ia saya beri nama “Secarik Rindu Untuk Tuhan”. Ia anak saya.

Saya sebagai Ayah, sejak awal sebelum melahirkan anak jika ingin disebut sejak buaian kecil diajar dan dididik oleh orang tua (yang semua ajaran dan ilmu orang tua saat kecil berberkas di hati dan ingatan) hingga menjabat sebagai mahasiswa menggali tempat-tempat, medium-medium belajar, diskusi, lembaga, kawan-kawan, adik-adik, atau alam, dan lain sebagainya; dari situasi formal maupun non-formal menjadi guru-guru belajar.

Pemaknaan kita atas hidup dan kehidupan diperoleh hanya ketika kita telah menuntut ilmu, kemudian dilanjutkan dengan proses merenung. Berbicaralah pada entitas yang ada di dalam diri kita. Ruang-ruang kelas tak sepenuhnya menjadi medium bagi kita menggali ilmu dan pengalaman. Ilmu dan pengalaman tak bakal didapat jika hanya memiliki kemauan tapi absen keberanian. Banyak manusia cerdas, tapi sebelum meraih mimpinya ia gagal hanya karena ketidak-berani-annya menghadapi dunia di depannya.

Dalam waktu skorsing yang anda butuh dan merasa nyaman dalam cara anda sendiri. Saya menunggu anak anda di atas singgasana aksara yang anda akrab dan mampu dalam meng-ada-kannya. Karena Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Anak anda ditunggu; lapor segera pada diri agar komitmen dan jangan lupakan keberanian Anda agar aksi berbuah nyata.