Oleh: Muhammad Syarif
Hidayatullah (Alumni Bahasa dan Sastra Inggris & Direktur Eksekutif Salaja Pustaka
Institute)
Di kelopak bunga yang sedang
mekar berwarna pink agak bercampur kecoklatan itu, daunnya hijau menetes air
Tuhan. Sebutir demi butir jatuh ke bumi, menghujam ke dalam dan ke dalam bah
tersaring hingga kembali menutrisi akar wajah dan metabolisme makhluk Tuhan
segala.
Adakah diantara kita yang paham
maksud tulisan diatas? Tidak semua kita langsung menangkap makna dan maksud
penulis setelah sebelumnya kita diam dan pikiran dipusatkan di dalam
pembacaannya. Membaca adalah menulis, dan menulis adalah membaca. Seorang
sastrawan atau penyair menggerakkan jari-jemari mereka tanpa kaku dan takut
untuk dihakimi, diludahi, atau dikumat-kumat agar dilempar tulisan mereka di
dalam tong sampah. Mereka adalah yang ingin membaca ketika menulis sebuah
tulisan di saat tulisan tadi adalah proses pembacaan bagi seorang penulis.
Mengapa banyak sudah di antara
kita yang hanya sekadar “ingin” menulis? Padahal menulis adalah membaca kembali
apa yang anda punya dan merepresentasikan pemahaman dan pikiran alam sadar atau
tidak sadar kemudian menyelibak ke permukaan alam sadar untuk meng-ada-kan
pikiran kita yang masih abstrak tadi menjadi sebuah fenomena yang disebut
tulisan.
Telah terlalu banyak kita
bertanya sejak dari kecil, remaja, masuk usia dewasa bahkan telah tua; di dalam
jagad diri kita yang dalam, kita menanyakan apa saja fenomena dan neumena yang
ada di depan dan di dalam kita. Kita adalah makhluk penuh keingintahuan dan
penanya; entah itu kursi, meja, bagaimana cara kerja pesawat terbang, kapal,
cara pandai bercakap multi-bahasa, berimajinasi dan merancang rencana-rencana,
yang kesemuanya kita lakukan bukan diekspresikan ke luar dunia eksternal tapi
kita lebih banyak membatin, yakni kita berbicara di dalam diri kita sendiri.
Termasuk kita sangat ingin tahu bagaimana atau “apa” hal-hal yang dapat membuat
kita pandai untuk menulis?
Pertanyaan-pertanyaan di atas
adalah sekian dari banyak bentuk tanya tapi tak jarang kita temui ia nihil
tanpa aksi nyata. Anda tidak bisa dicintai oleh orang lain kecuali anda
melakukan aksi; yaitu mengaktualisasikan hal-hal yang anda “ingin” agar berubah
“menjadi” hal-hal konstruktif dan penuh positif bagi hidup anda dan manusia
lain.
Anda bertanya ingin belajar
menulis, namun kemudian berhenti tanpa makna dan aksi, tidakkah langsung untuk
mewujudkan sendiri do’a dan pujaan impian yang biasa anda panjat-harapkan pada
Tuhan lebih agung dibanding hanya berimajinasi hanya di dalam pikiran? Kabulkan
permintaan anda, tanpa harus “membebani” Tuhan; barangkali itu sebab mengapa
Tuhan berfirman dalam sebuah riwayat “Hamba yang kuat, lebih Aku senangi
dibanding mereka hamba-Ku yang lemah (melemah-lemahkan potensi diri yang telah
Aku beri)”.
Tuhan menginspirasi manusia agar
mengenal dan bermakna menjalani hidup. Diharuskan bermakna sejak dalam pikiran
dan menciptakan karya potensial demi kemakmuran, kebaikan, dan kelestarian
kemanusiaan di sebuah pemukiman yang kita sebut Bumi. Tempat kita yang
terbatas, menuntut kita agar kembali pada Yang Tak Terbatas.
Hari ini dengan sadar manusia
menendang-nendang tumpukan buku, kertas, dan alat tulis yang terhampar di
kehidupan sehari-hari; tanpa ada yang mau mencoba menggunakan alat-alat Tuhan
tersebut agar mencerahkan peradaban; peradaban aksara, peradaban kita. Padahal
jika kita membaca dan menulis maka sebenarnya kita sedang menyempurnakan diri
agar di Bumi kita dapat bahagia dengan ilmu dan setelah meninggalkan dunia ini
kita juga bahagia bercengkerama bersama Tuhan.
Sedang gawai (smartphone) dalam
sebutan peradaban modern yang sangat kita kenal. Manusia ketika beraktivitas
dalam ke-biasaan-nya sehari-hari lalai pada keypad, keyboard layar gawai.
Padahal jika kita lebih sadar, gawai dapat dijadikan media untuk kita menulis;
menciptakan esai, artikel, bahkan tulisan apa saja; esai ini pun lahir dari
gerakan dua jempol jari yang bersentuhan dengan keypad gawai saya. Bermacam
jenis rupa dari berteknologi cerdas yang membuat alat-alat ini merana tanpa
makna; hanya dijadikan tempat subur terpapar budaya dekonstruktif; budaya Pop,
terpapar budaya langsung jadi, miskin makna, artifisial, dan penuh delusi.
Fakta jika hampir tak ditemukan
lagi dari kita yang tak memiliki gawai di tangan, yang diletakkan di kantong
celana, dada, atau tas-tas beraneka bentuk dan jenis di tengah buasnya kita
mengejar simbol, nama, label dari apa yang kita beli kemudian akhirnya buta
untuk meng-aktual-kan jiwa-jiwa insan kamil; jiwa kita sebagai manusia aktual.
Pertanyaannya, kapan kemudian
tangan saya sekarang seharusnya berhenti agar ditemui klimaks pukulan diksi
yang tepat dan telak, agar pembaca dengan segera mengambil jari-jari jemarinya
menggerakkan keypad gawai; akhirnya dihasilkan sebuah aksara?
Saya beri waktu yang tak
ditentukan agar sekarang anda merealisasikan do’a-do’a dan keinginan anda yang
muluk selama ini daripada kita berlagak bah seorang majikan meminta segala rupa
pada Tuhan; tugas kita sekarang yang harus diwujudkan sekuat kemampuan adalah
tugas Kemanusiaan, Ketuhanan, dan Ke-alam-an bagi diri yang sublim di dalam
diri seorang manusia dan dunia eksternal yang ada di luar diri.
Maukah anda percaya bagaimana
rasanya menjadi seorang yang bebas bagai seekor burung elang terbang penuh
gembira mengepakkan kedua hal; kertas dan penanya agar tembus melintasi
cakrawala, masa, dan realita ruang yang berbeda? Carl Jung (kawan saya yang seorang
Filsuf) katakan pada saya beberapa hari lalu bahwa di dalam diri seorang
sastrawan atau penyair, ada hasrat yang kejam untuk mencipta.
Maukah anda menggendong dan
bercengkerama bersama anak kandung anda sendiri yang imut, kuat, berilmu, dan
segala hal yang melekat padanya yang membuat anda banyak memuja dan memuji
Pencipta dengan hadirnya anak yang anda cinta? Saya sangat gembira dan mengajak
berdasarkan hati saya bahwa anda juga mampu mempunyai anak dan menggendong
dengan gembira-bahagia anak darah dan daging anda sepenuhnya. Saya telah
gembira dengan hadirnya anak yang saya aqiqahkan dengan hati, do’a, dan
keringat yang ia saya beri nama “Secarik Rindu Untuk Tuhan”. Ia anak saya.
Saya sebagai Ayah, sejak awal
sebelum melahirkan anak jika ingin disebut sejak buaian kecil diajar dan
dididik oleh orang tua (yang semua ajaran dan ilmu orang tua saat kecil
berberkas di hati dan ingatan) hingga menjabat sebagai mahasiswa menggali tempat-tempat,
medium-medium belajar, diskusi, lembaga, kawan-kawan, adik-adik, atau alam, dan
lain sebagainya; dari situasi formal maupun non-formal menjadi guru-guru
belajar.
Pemaknaan kita atas hidup dan
kehidupan diperoleh hanya ketika kita telah menuntut ilmu, kemudian dilanjutkan
dengan proses merenung. Berbicaralah pada entitas yang ada di dalam diri kita.
Ruang-ruang kelas tak sepenuhnya menjadi medium bagi kita menggali ilmu dan
pengalaman. Ilmu dan pengalaman tak bakal didapat jika hanya memiliki kemauan
tapi absen keberanian. Banyak manusia cerdas, tapi sebelum meraih mimpinya ia
gagal hanya karena ketidak-berani-annya menghadapi dunia di depannya.
Dalam waktu skorsing yang anda
butuh dan merasa nyaman dalam cara anda sendiri. Saya menunggu anak anda di
atas singgasana aksara yang anda akrab dan mampu dalam meng-ada-kannya. Karena
Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita “Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Anak anda ditunggu; lapor
segera pada diri agar komitmen dan jangan lupakan keberanian Anda agar aksi
berbuah nyata.