Saya selalu tertarik jika membaca artikel terkait gender, apalagi dikaitkan dengan Islam. Bukan tanpa sebab, interest ini disebabkan seringnya saya membaca tulisan yang bias dalam memaparkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Selain itu, dunia nyata menunjukkan fakta adanya ketimpangan dan diskriminasi atas kelompok perempuan.
Tulisan "Seratus Tahun Keunggulan Perempuan" karya Hamid Basyaib menyuguhkan data empirik yang menggugah, terutama dalam membongkar mitos usang bahwa laki-laki secara alami lebih unggul daripada perempuan dalam bidang akademik, khususnya sains dan matematika. Basyaib secara meyakinkan menyajikan hasil riset yang menunjukkan bahwa perempuan dalam banyak aspek bahkan lebih unggul secara konsisten dalam performa akademik lintas generasi dan negara. Tulisan saya ini bukan untuk mengkritisi apa yang dipaparkan oleh penulis tapi hanya ingin memperkaya dari sisi khazanah keislaman.
Khususnya saya, pendidikan gender tidak didapatkan melalui pendidikan formal, paling hanya saya dapat melalui workshop atau pelatihan dengan beberapa lembaga NGO baik di dalam maupun luar negeri.
Pendidikan gender atau tepatnya nilai atau praktik gender justru saya dapatkan melalui orang tua, dan tradisi yang tumbuh di kampung saya. Bahkan saat saya terlibat di CIDA, lembaga dari Canada yang banyak memberikan dana riset untuk pelatihan gender dan riset, saya katakan kalau mau belajar gender, datanglah ke kampung saya. Di sana orang tidak bicara teori tetapi sudah praktik gender, mengikuti pola ideal ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan manusia kecuali hanya dari sisi ketakwaannya.
Islam memang tidak pernah menjadikan jenis kelamin sebagai tolok ukur keunggulan manusia. Satu-satunya pembeda yang diakui dalam Al-Qur’an adalah takwa (lihat QS. Al-Hujurat:13), bukan jenis kelamin, warna kulit, atau latar belakang sosial. Laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab moral dan spiritual yang sama, bahkan seringkali disebutkan secara sejajar dalam teks-teks suci: "laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, laki-laki yang beramal saleh dan perempuan yang beramal saleh..." (QS. Al-Ahzab:35).
Perbedaan dalam Islam bersifat kodrati bukan diskriminatif. Laki-laki secara umum diberi fisik yang lebih kuat karena ditugaskan sebagai pelindung dan penanggung jawab (qawwam) dalam keluarga. Namun ini tidak boleh ditafsirkan sebagai superioritas total atas perempuan. Dalam hal kecerdasan, karakter, bahkan kepemimpinan, Islam tak membatasi potensi perempuan. Khadijah adalah pengusaha sukses, Aisyah adalah intelektual utama Islam awal, dan banyak tokoh perempuan lainnya turut menentukan arah sejarah Islam.
Ketimpangan gender sebagai warisan struktur sosial dan budaya, bukan kapasitas alami. Ini sejalan dengan fakta bahwa banyak "kelemahan" perempuan sebenarnya adalah hasil bentukan lingkungan yang timpang bukan fakta biologis. Hal ini penting ditegaskan, sebab Islam sendiri melawan bentuk ketimpangan struktural seperti penguburan bayi perempuan, pembatasan akses ilmu, atau penyingkiran perempuan dari ruang publik, yang semuanya merupakan praktik jahiliyah yang diluruskan Nabi Muhammad SAW.
Satu aspek penting yang harus diperhatikan adalah perbedaan antara equality (persamaan) dan equity (keadilan proporsional). Dalam praktik sosial dan pendidikan, kesetaraan bukan berarti semua mendapat perlakuan yang sama, melainkan sesuai kebutuhan dan potensinya masing-masing. Islam mengenali prinsip ini sejak awal: seorang ibu mendapat penghormatan tiga kali lebih besar daripada ayah bukan karena ia lebih tinggi derajatnya, tetapi karena perannya secara kodrati menuntut pengorbanan yang lebih besar.
Islam adalah agama yang sejak awal menjamin hak dan kesetaraan perempuan bukan dalam bentuk persaingan, tetapi dalam pengakuan penuh terhadap potensi, martabat, dan peran masing-masing.
Kesetaraan sejati bukanlah ketika perempuan mencoba menjadi seperti laki-laki, atau sebaliknya tetapi ketika keduanya dihargai sebagai manusia utuh dalam segala keberagaman dan kontribusinya.
Sungguminasa 19 Mei 2025