Santri Milenial; Dari Literasi, Gadget, K-Pop hingga Tik-Tok

  • 10:36 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Berbicara tentang santri  milenial berarti kita sedang memperbincangkan nasib bangsa, negara bahkan agama untuk di masa depan. Di tangan mereka lah kelak persoalan kebangsaan ini akan diserahkan. Ali ra berkata; “Sesungguhnya di tangan para pemuda persoalan umat (agama, bangsa dan negara) diserahkan, dan di kaki mereka kelak hidup dan matinya persoalan tersebut. Penyataan Ali ra tersebut menjadi collective alarm bagi masyarakat bagaimana seharusnya secara kesadaran kolektif membangun generasi baik melalui jalur formal, informal maupun non formal.

Saat ini terjadi dinamika psikologis di kalangan remaja terkait sikap terhadap perkembangan dunia digital melalui revolusi industri 4.0. Di satu sisi, terdapat kelompok remaja yang gigih memanfaatkan era digital sebagai media dan wadah bagi mereka untuk berkreasi. Melalui perkembangan teknologi, santri milenial memili memiliki kreativitas yang sangat tinggi, baik di bidang pendidikan, sosial- budaya hingga ekonomi. Di bidang Pendidikan misalnya, banyak riset santri milenial yang bermanfaat bagi pengembangan masyarakat dan pengembangan teknologi. Di bidang ekonomi, santri milenial memanfaatkan bisnis online sebagai tambahan penghasilan mereka, bahkan dengan memanfaatkan dunia digital saat ini, Nisa Sabyan misalnya (representasi remaja milenial) mampu mampu menghasilkan milyaran rupiah perbulan dari hasil upload lagu-lagu religi popular di Youtube, bahkan ada remaja yang mampu menguasai beberapa bahasa asing hanya belajar dari youtube. 

Hanya saja, di zaman teknologi digital ini, generasi  milenial yang konsisten dengan tradisi literasi seperti ini menjadi minoritas di kalangan publik. Suara ringtone lebih sering terdengar daripada suara halaman buku bunyi keyboard komputer yang digunakan untuk menulis. Perpustakaan mulai sunyi. Buku-buku agama (klasik) yang biasa disebut kitab kuning berdebu, tidak ada lagi yang menyentuh, budaya membaca sangat menurun, dikalahkan dengan budaya gossip. Kenyataan yang pahit, negara kita menduduki peringat 60 dari 61 negara yang melek terhadap membaca dan menulis. Tingkat kemelekan Indonesia dalam hal literasi hanya lebih baik dari Botswana. Survei yang lain menyebutkan Indonesia menempati peringkat 36 dalam pembangunan infrastruktur literasi. Ini membuktikan bahwa jumlah perpustakaan kita banyak, tapi tingkat pembacanya yang memprihatinkan. Santri milenial yang  concern dengan tradisi literasi berubah menjadi generasi gadget, yaitu generasi yang sangat ketagihan dengan gadget, bahkan gadget menjadi “pendamping” setia dalam kehidupan generasi milenial. Menurut Susi Yuni Dewi (Psikolog), remaja atau anak-anak yang ketagihan gadget lebih berbahaya daripada kecanduan narkoba. Jika demikian, apa yang bisa diharap dari generasi yang tidak gemar membaca-menulis ini? 

Dari demam gadget, santri  milenial juga tidak luput dari wabah demam K-Pop (Korean Pop) atau bisa disebut Hallyu Wave yang  menjadi trendy di Indonesia. Dari mulai musik, drama, bahkan makanan Korea semakin mudah ditemukan di sekitar kita. Konser-konser Boygroup atau Girlgroup dari Korea Selatan juga sudah sering diadakan di Indonesia. Uniknya K-Pop bukan saja digemari oleh para remaja, tapi justeru juga datang dari kalangan ibu-ibu yang sangat suka dan fanatik dengan drama-drama korea.

Belum berakhir angin K-Pop, saat ini muncul lagi komunitas remaja atau santri milenial melalui game aplikasi Tik-Tok. Game ini menjadi lifestyle mereka, bahkan menular ke orang tua. Aplikasi TikTok akhir-akhir ini tengah ramai menjadi perbincangan netizen di media online bahkan viral di kalangan anak muda milenial.  Dalam kaitan ini, peran orang tua dipandang penting melalui proses pendampingan bagi anak-anak mereka (children engagement). Orang tua harus selalu memantau apa saja yang anak lihat, dengarkan, dan lakukan. Jika tidak, maka bersiaplah anak-anak akan ditelan gelombang modernitas yang seringkali kehilangan nilai. Mereka lebih mempercayakan masalah hidup kepada teman daripada kepada orang tua. Ini disebabkan keluarga tidak mampu menjaga integritas. Karena itu, orang tua harus mampu memosisikan diri bukan lagi hanya sebatas the first teacher tapi sebagai the real teacher bagi anak-anaknya.

Sungguminasa 13 Ramadhan 1446 H