Moderasi beragama di Indonesia telah menjadi topik penting selama beberapa dekade terakhir, terutama di tengah meningkatnya ketegangan sosial-politik akibat polarisasi agama dan identitas. Dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden, harapan akan terciptanya iklim yang lebih moderat dan toleran dalam beragama pun muncul. Prabowo, yang selama bertahun-tahun terlibat dalam politik nasional dengan narasi populisme dan nasionalisme, kini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahannya mampu merangkul keberagaman agama di Indonesia tanpa mencederai prinsip pluralisme dan kebebasan beragama.
Moderasi beragama bukan hanya sekadar menjaga keseimbangan antara kelompok-kelompok agama, tetapi juga menjadi dasar yang kokoh untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis. Di era kepemimpinan Prabowo, moderasi beragama dihadapkan pada beberapa tantangan serius, baik dari sisi kebijakan pemerintah, dinamika sosial, hingga hubungan antara kelompok-kelompok agama. Namun, peluang untuk memperkuat moderasi ini juga terbuka lebar jika pemerintah mampu memanfaatkan momentum untuk mempromosikan persatuan dan kebersamaan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Prabowo dalam mewujudkan moderasi beragama adalah polarisasi sosial yang semakin tajam dalam beberapa tahun terakhir. Polarisasi ini tidak hanya terjadi antara agama yang berbeda, tetapi juga di dalam kelompok agama itu sendiri. Pemilu yang lalu memperlihatkan betapa dalamnya jurang perpecahan di masyarakat, yang sebagian besar disebabkan oleh narasi-narasi sektarian dan identitas agama yang dikapitalisasi dalam politik.
Prabowo, yang saat ini diamanahkan menjadi presiden kini harus menghadapi kenyataan bahwa dukungannya terhadap moderasi beragama akan diuji secara ketat oleh berbagai pihak.
Tokoh seperti Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, pernah mengingatkan bahwa tantangan moderasi beragama di Indonesia tidak hanya datang dari kelompok radikal, tetapi juga dari kecenderungan eksklusif dalam masyarakat luas. Ia menegaskan bahwa salah satu langkah kunci untuk mendorong moderasi adalah dengan memperkuat institusi-institusi pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai inklusif dan pluralis. Pendidikan agama yang moderat dapat menjadi benteng utama melawan radikalisme, dan Prabowo, yang memiliki kekuasaan eksekutif, dapat memainkan peran penting dalam mengarahkan kebijakan pendidikan ke arah ini.
Lebih jauh, Din Syamsuddin, mantan ketua PP Muhammadiyah, menekankan bahwa moderasi beragama harus berbasis pada keseimbangan antara hak individu untuk beragama dan hak masyarakat luas untuk hidup dalam kerukunan. Din mengingatkan bahwa pemerintah sering kali terlalu fokus pada kebijakan penegakan hukum dalam menanggulangi ekstremisme, tanpa melihat akar penyebab dari ketidakadilan sosial dan ekonomi yang turut memicu radikalisasi. Di era Prabowo, tantangan ini sangat relevan, terutama mengingat bahwa beberapa kebijakan ekonomi yang digadang-gadang mungkin tidak segera menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Selain itu, kebangkitan konservatisme agama juga menjadi tantangan tersendiri. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, selama ini menjadi penggerak utama moderasi beragama. Namun, peran kedua organisasi tidak akan cukup jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang jelas dan konsisten dalam melindungi kebebasan beragama dan mempromosikan dialog antaragama.
Di balik tantangan-tantangan tersebut, terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintahan Prabowo untuk memperkuat moderasi beragama di Indonesia. Salah satu peluang terbesar adalah potensi kerjasama antara pemerintah dengan organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakat sipil. NU dan Muhammadiyah, yang memiliki jaringan luas hingga ke daerah-daerah terpencil, dapat menjadi mitra strategis dalam menyebarkan pesan-pesan moderasi beragama dan toleransi.
Yenny Wahid, putri almarhum Gus Dur dan aktivis perdamaian, pernah menyatakan bahwa moderasi beragama harus dipahami sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak individu dan kolektif dalam kehidupan beragama. Menurut Yenny, di era modern ini, moderasi tidak hanya berbicara tentang toleransi dalam beragama, tetapi juga soal menciptakan ruang publik yang inklusif di mana semua orang, terlepas dari latar belakang agama mereka, merasa dihormati dan aman. Prabowo, dengan pengalamannya dalam memimpin dan latar belakang militernya, memiliki kapasitas untuk mendorong implementasi kebijakan yang lebih tegas dalam melindungi hak-hak kebebasan beragama.
Salah satu langkah yang dapat diambil oleh Prabowo adalah memperkuat dialog antaragama melalui forum-forum formal maupun informal. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang selama ini berfungsi sebagai wadah dialog di tingkat daerah, dapat diperluas perannya hingga ke tingkat nasional. Dengan mendorong partisipasi aktif dari berbagai kelompok agama, FKUB dapat menjadi platform yang efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik antaragama secara damai dan menghindari kekerasan berbasis agama.
Selain itu, moderasi beragama juga dapat diperkuat melalui pendekatan kebijakan yang inklusif dalam pembangunan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi sering kali menjadi salah satu penyebab utama ketidakstabilan sosial yang berdampak pada meningkatnya radikalisme agama. Jika Prabowo mampu menciptakan kebijakan ekonomi yang adil dan merata, di mana seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok minoritas agama, merasakan manfaatnya, maka ini akan secara langsung berkontribusi pada terciptanya kondisi sosial yang lebih stabil dan moderat.
Optimisme untuk masa depan moderasi beragama di Indonesia dapat ditumbuhkan jika Prabowo mampu menunjukkan komitmen nyata dalam menghadirkan kebijakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip moderasi, pluralisme, dan persatuan. Dengan demikian, Indonesia dapat terus menjadi contoh bagi dunia sebagai negara mayoritas Muslim yang berhasil merawat keragaman agama dan hidup dalam harmoni di tengah dinamika global yang penuh tantangan.
Sungguminasa 25 Okttober 2024