Beberapa waktu lalu saya diundang oleh seseorang untuk memimpin zikir. Sebelum saya mengiyakan, saya bertanya dalam rangka apa? Pengundang itu menyebutkan agenda zikir bersama itu dimaksudkan oleh shahibul hajat sebagai ikhtiar dan don dalam rangka pencalonan dirinya sebagai kepala daerah.
Sudah menjadi sebuah ritual rutin, menjelang atau di saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan calon legislatif, zikir menjadi sebuah trend di masyarakat. Sejak dibukanya pendaftaran calon kepala daerah, sejumlah individua tau gabungan partai politik sudah memprakarsai kegiatan zikir yang melibatkan elemen masyarakat. Fenomena manusia “gemar” berzikir ini sejalan dengan teori Robert E. Quinn bahwa di saat mengalami krisis atau kritis, manusia memerlukan bantuan “Sang Penolong” (Robert E. Quinn: Moment of Greatness: 13).
Apa yang dikemukakan Robert memang ada benarnya. Lihatlah misalnya, manusia tiba-tiba kembali membuka kitab sucinya (meski instant) ketika ada keluarga wafat. Masyarakat sering melakukan zikir ketika datang bencana. Orang tiba-tiba menyebut-nyebut nama Tuhan ketika pesawat yang ditumpanginya goncang dan terancam mengalami kecelakaan.
Pilkada sebenaranya juga dapat dikategorikan sebuah kondisi kritis di mana seseorang (calon) atau partai politik pendukung mempertaruhkan reputasi dirinya di tengah masyarakat. Mereka berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya atau partai layak untuk dipilih. Dalam kondisi seperti ini, sangat disadari oleh para kandidat kepala daerah bahwa kalkulasi kekalahan dan kesuksesan berada pada level fifty-fifty. Tidak ada yang dapat memastikan bahwa dirinya pasti menjadi pemenang. Karena itu, zikir menjadi terapi efektif untuk meringankan beban psikologis yang dialami oleh para caleg atau partai.
Sudah dapat dibayangkan berapa cost yang harus keluarkan untuk memperebutkan suara rakyat. Baliho, kartu nama, iklan media cetak maupun media massa memerlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya sebagai media sosialisasi. Belum lagi biaya tim sukses yang bekerja di lapangan memerlukan banyak biaya.
Persoalannya kemudian, bagaimanakah hakikat zikir? Apakah zikir dalam perspektif agama sama seperti zikir yang dipahami oleh kebanyakan masyarakat. Sebab jika masyarakat diundang untuk mengadakan zikir, maka yang terbayang di benak mereka adalah sekompok orang yang berpakaian putih, duduk bersama dalam sebuah tempat lalu melafalkan sejumlah wirid yang dipandu oleh pemandu zikir.
Para ahli tasauf membagi zikir kepada tiga macam yaitu zikir lisani, zikir qalbi, dan zikir amali. Pertama, Zikir lisani, yaitu zikir dengan cara melafalkan sejumlah wirid (bacaan) yang dapat menghantarkan pembacanya merasa dekat kepada Allah. Zikir seperti ini mampu memberikan pencerahan spiritualitas kepada pembacanya sehingga dia merasakan ketenangan dan kedamaian. Pola zikir seperti ini pula yang diterapkan di Pesantren Inabah Abah Anum yang memfokuskan zikir pada terapi narkoba. Zikir lisani merupakan upaya terapis untuk menetralkan kondisi kejiwaan dari sejumlah problematika psikologis, agar mampu kembal ke titik nol (zero). Kedua, zikir qalbi yaitu sebuah proses mengingat Tuhan melalui kemampuan metanarasi dan metafisika (kemampuan ”membaca” di balik sesuatu atau teks). Jika memandang matahari, bukanlah materti matahari yang menjadi objek renungannya, tetapi ”sesuatu” di balik matahari tersebut yaitu kekuasaan Tuhan yang diaktualisasikan (tajalli) melalui cahaya yang bersinar. Karena itulah Allah juga di sebut An- Nur (Sang Maha Cahaya). Ketiga, zikir amali yaitu segenap aktivitas yang bersentuhan langsung dengan sesama manusia dengan tujuan taqarrub ilallah melalui implementasi refleksi sifat Tuhan.
Pertanyaannya apakah zikir memiliki pengaruh dalam sebuah perubahan? Atau dalam skop yang lebih kecil lagi, seberapa besar pengaruh zikir dalam mempengaruhi kemenangan sebuah partai atau caleg?
Jika yang dipahami dan dilaksanakan masyarakat selama ini hanya sebatas zikir lisani, maka zikir tidak efektif ”merayu” Tuhan untuk merubah sebuah bangsa dari bangsa yang miskin menuju bangsa yang modern. Perubahan semacam ini harus disertai dengan zikir amali. Lalu kenapa zikir lisani digemari oleh para calon atau partai? Disamping sebagai doa kemenangan, juga dimaksudkan sebagai terapi mental jika dihadapkan dengan kenyataan pahit. Di samping itu, zikir lisani dapat dijadikan sebagai politik pencitraan bagi parpol atau seorang kandidat bahwa partai atau figur tersebut termasuk orang yang dekat dengan agama. Hal ini sejalan dengan teori John A. Naibit dan patricia Aburden dalam bukunya Megatrend 2000 bahwa memasuki abad ke 21 ini manusia cenderung kepada hal-hal yang sifatnya spiritualitas.
Bagaimana pengaruh zikir lisani dalam hiruk-pikuk pilkada? Secara subtantif, zikir ini tidak memiliki pengaruh signifikan dalam mendongkrak perolehan suara. Pelaksanaan zikir hanya merupakan sebuah politik pencitraan yang ingin membentuk opini publik bahwa yang bersangkutan termasuk sosok yang dekat dengan agama. Hal ini logis mengingat para pemilih adalah orang yang beragama. Akan tetapi masyarakat sebenarnya sudah cerdas, mereka dapat mementukan mana orang-orang yang memang rutin berzikir tanpa harus menunggu pemilu datang dan mana orang yang berzikir dadakan. Pemahaman sempit terhadap zikir yang hanya berfokus pada zikir lisani mengakibatkan terjadinya distorsi makna hakiki zikir. Akibatnya zikir hanya dipahami sebuah paradigma ritual.
Vietnam 17 Oktober 2024