Koalisi Politik dalam Perspektif Agama

  • 09:43 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Tidak ada yang membantah bahwa Ali r.a,  termasuk sahabat Nabi Muhammad saw. yang sangat istemewa. Dikatakan demikian, di samping karena dia sebagai keponakan dan sekaligus menantu Nabi saw., Ali juga merupakan sosok yang sangat cerdas, memiliki integritas kepribadian, pemberani, orang pertama masuk Islam di golongan anak-anak, dan bahkan  menjadi panglima perang di zaman Khalifah Usman. (H.A. R. Gibb, Encyclopedia:381). Akan tetapi, prestasi di atas dan statusnya sebagai ahl al-bait (kerabat Nabi) ternyata tidak serta merta mampu menghantarkannya menjadi khalifah  menggantikan posisi Nabi setelah kewafatanya, meski sinyalimen dari Nabi ke arah itu sudah ada seperti wasiatnya di Khadir Khumm sebagaimana diyakini oleh kelompok Syiah. 

Abu Bakar  r.a. yang mampu membangun komunikasi politik dengan Umar r.a. meski diwarnai dengan perdebatan sengit antara kelompok Muhajirin dan Anshar (Ibn Hisyam: al-Sirah al-Nawabiyah;225) akhirnya terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah perpolitikan Islam. Ali r.a sendiri baru memberi bai’at (pengakuan setia) kepada Abu Bakar enam bulan setelah ia menjadi khalifah.

Kelompok pendukung Ali yang tidak dapat menerima kenyataan ini membuat firqah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Syi’ah. Kelompok ini memandang bahwa hak Ali menjadi khalifah telah ”dirampas”. Inilah yang kemudian melahirkan bibit-bibit permusuhan antara kelompok sunni dan syiah, baik dalam perspektif politik maupun teologis. Meski merasa telah ”dirampas”, pendukung Ali masih berharap Ali dapat mendukuki jabatan khalifah menggantikan Abu Bakar r.a, namun  kenyataannya,  Abu Bakar justeru menunjuk Umar r.a  menjadi khalifah II menggantikan Abu Bakar.   

Ketika Umar sakit karena ditikam oleh Abu Lu’lu, dia tidak mengamanahkan Ali menjadi penggantinya, Umar malah membentuk tim formatur untuk mencari pengganti. Tim formatur akhirnya menunjuk Usman menjadi khalifah III menggantikan Umar.  Beberapa tahun setelah memerintah,  Usman terbunuh di tangan pemberontak. Masyarakat kemudian sepakat membaiat Ali menjadi khalifah menggantikan Usman. Namun sayang tidak semuanya setuju. Gubernur Damaskus Muawiyah yang merupakan keponakan Usman menolak kepemimpinan Ali r.a dan meminta Ali untuk menuntaskan kasus  pembunuhan pamannya. Karena tidak puas dengan Ali, Muawiyah juga mendeklarasikan diri sebagai khalifah yang berpusat di Damaskus. Akibatnya, terjadilah perang saudara pertama di dalam Islam antara tentara Ali dan Muawiyah yang kemudian dikenal dengan perang siffin. Keduanya mengadakan arbitrase (kesepakatan damai), namun pendukung Ali yang tidak setuju dengan itu kecewa dan keluar dari barisan Ali dan menjadi penentang Ali (golongan ini disebut Khawarij). Bukan hanya itu, Ali juga harus berhadapan dengan kelompok Thalhah, Zubair dan Aisyah yang juga menentang Ali.  Ali. r.a. akhirnya meninggal di tangan seorang khawarij yang bernama Ibn Muljam (Harun Nasution; Teologi Islam; 11) 
Gambaran tentang kegagalan dan hambatan politik yang dialami Ali seperti uraian sekilas di atas sama sekali bukan dimaksudkan untuk menonjolkan sisi kekurangan Ali r.a sebagai sahabat Nabi, tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa  membangun sebuah pemerintahan yang kuat atau kekuatan politik tidak cukup hanya dengan kecerdasan, keberanian, integritas kepribadian bahkan dengan teks/narasi agama sekalipun, tetapi juga diperlukan kemampuan komunikasi dan koalisi politik dalam sebuah pemerintahan. Fakta terakhir inilah yang tidak dimiliki oleh Ali r.a.

Koalisi atau Aliansi?

Hiruk-pikuk pemilu sudah berakhir dengan segala fenomena “uniknya”.  Saat ini energi para politisi dikuras kembali untuk menggalang dan mambangun koalisi dalam rangka menghadapi dan menjalankan roda pemerintahan untuk periode 2024-2029.  Terlepas dari itu semua, apakah  yang  sudah dibangun selama ini atau wacana koalisi ke depan dapat dikategorikan sebagai perwujudkan ”makna hakiki koalisi” atau hanya sebatas aliansi? Untuk itu, diperlukan pengertian dan pemahaman yang jelas tentang makna koalisi dalam politik.

Koalisi dan aliansi berasal dari bahasa Inggris coalition dan alliance yang secara bahasa arti keduanya hampir tidak dapat dibedakan yaitu penggabungan, persatuan, persekutuan dan perserikatan. Secara terminologis koalisi  berarti kerjasama dalam kegiatan perpolitikan untuk menentukan arah kebijakan bersama. Ryass Rasyid, pakar ilmu pemerintahan memandang bahwa model koalisi yang sudah dibangun oleh partai politik selama ini (2004-2009) antara Partai Demokrat, Golkar dan sejumlah partai lainnya, bukanlah koalisi, tetapi lebih kepada aliansi, sebab pada kenyataannya partai-partai tersebut hanya berbagi kekuasaan.   

Dengan demikian pengertian koalisi dalam terminologi politik praktis adalah suatu bentuk kerjasama antar partai-partai tertentu untuk membentuk pemerintahan dalam suatu negara yang bukan sistem presidential. Sedangkan aliansi adalah kerja sama antar partai -partai politik tertentu untuk memebentuk kekuatan sesudah atau sebelum pemilu atau untuk menggolkan suatu program tertentu seperti memilih presiden dan wakilnya, bahkan dalam menjalankan roda pemerintahan dalam suatu negara yang bersistem presidential.

Adapun perbedaan keduanya, dalam koalisi sewaktu-waktu salah satu partai yang berkoalisi dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada yang berkuasa untuk menuntut mundur presiden yang menjabat bila menyeleweng dari kesepakatan sehingga satu periode pemerintahan dapat dipimpin dua kali seorang kepala negara, tetapi tetap dalam koridor konstitusi yang mendahulukan kepentingan rakyat. Sedangkan dalam aliansi hal tersebut tidak terjadi karena aliansi dilakukan untuk membentuk pemerintahan bersama dalam negara yang bersistem presidentil maka masa jabatan presiden telah ditentukan sehingga tidak ada alasan lagi bagi partai yang beraliansi untuk mengajukan mosi tidak percaya dan menuntut mundur presiden yang sedang menjabat.

 Koalisi Perspektif Agama
Meski istilah koalisi ini tidak pernah muncul dalam sejarah politik Islam  klassik, namun praktik koalisi dalam pengertian sederhana sudah pernah dicontohkan oleh Nabi dan para khalifah pada zamannya. Ketika Nabi berada di Madinah, Nabi membangun koalisi yang sinergis dengan suku-suku yang ada di Madinah untuk menghadapi kekuatan kafir Quraisy Mekkah. Untuk memperkokoh bangunan koalisi itu, Nabi membuat Piagam Madinah sebagai landasan normatif yang mengikat untuk membangun kemaslahatan bersama (Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; 26) Dari contoh ini  dapat disimpulkan bahwa syarat koalisi harus dilandasi oleh kesamaan tujuan yang diatur dan diikat oleh sebuah landasan normatif terulis yang harus dipatuhi bersama,  bukan atas dasar  kesepakatan verbal yang mengambang apalagi kepentingan primordial dan sektoral.

Menurut Nurcholid Madjid, ide-ide pokok dalam Piagam Madinah sebagai landasan normatif bersama tersebut menghendaki adanya tatanan sosial-politik yang diperintah bukan oleh kemauan pribadi ataupun kelompok, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip ad-hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar anggota masyarakat (Nurcholis Madjid, Agama dan Negara; 590)

Sebenarnya baik al-Quran maupun al-Hadis sebagai teks suci, tidak secara eskplisit membahas atau menerangkan tentang istilah koalisi politik, namun beberapa kosa kata atau istilah yang terdapat di dalam al-Quran maupun al-hadis boleh jadi dapat memberikan pencerahan untuk memahami hakikat koalisi.  Pertama, al-Ta’awun yaitu  tolong menolong yang besifat umum pada masalah kebaikan. (Q.S. al-Maidah: 2). Tolong menolong seperti ini juga disebut dengan istilah al-tahaluf seperti bunyi hadis Nabi saw:"Dan bentuk tahaluf apa saja yang pernah terjadi masa jahiliyah menjadi lebih kuat dengan hadirnya Islam. (H.R. Muslim}. Menurut Ibnu Atsir bentuk-bentuk tahaluf yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan.  Kedua, al-Muwalah yaitu bekerja sama dalam kebaikan. Dalam konteks ini, Islam memang mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bekerja sama bahkan berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S. al-Maidah: 48) terlepas dengan siapa dan apapun agamanya. Orang Islam hanya dilarang bermuwalah dengan orang kafir jika mereka menindas Islam. Akan tetapi selama mereka berlaku adil dan tetap memegang teguh kesepakatan normatif  koalisi, maka dibenarkan untuk mengadakan muawalah. Dalam konteks semacam ini, al- Nabhani menyatakan bahwa kaum muslim boleh ber-muwâlâh dengan orang kafir. (An-Nabhani, al--Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, ;270-271). Pernyataan ini juga diperkuat dengan pendapat seorang filosof dan intelektual muslim Muhammad Iqbal bahwa pemimpin  yang adil dan bijaksana meski non muslim, lebih baik daripada pemimpin muslim tetapi zalim dan aniaya.  Ketiga, al-Muakhoh yaitu  perjanjian antara dua pihak untuk saling menolong, membantu, mewarisi hingga seperti saudara. Kadang-kadang perjanjian seperti ini juga disebut 'al hilfu atau tahalluf  (janji setia). Koalisi seperti ini dapat dilihat dari  kelompok Abu Bakar yang melibatkan 4 kabilah yang kemudian dikenal sebagai Tahaluf al-Muthayyabin. Demikian juga kelompok Umar yang dikenal sebagai Hilful Ahlafi yang terdiri dari 6 kabilah. Salah satu  tahaluf yang disaksikan Nabi saw dan didukungnya adalah Hilfu al-fudhul, sebab Nabi mengetahui persis bahwa Hilful Fudhul ditegakkan hanya untuk menolong orang-orang yang mazhlum (teraniaya) dan mengambalikan haknya.
Dari pemaparan di atas disimpulkan bahwa bentuk al- tahaluf adakalanya sesama muslim (ideologis), dan ada yang lintas agama sebagaimana dilakukan Nabi saw dengan kaum Yahudi dan suku-suku di Madinah dan dukungannya terhadap Hilful Fudhul.  Oleh karena itu, Imam Syafi'i menegaskan bahwa yang menjadi ukuran  boleh dan tidaknya tahaluf (koalisi) dengan non muslim adalah kemaslahatan umat (lihat Mughni al-Muhtaj; 4/221).  Imam Ibnu Taimiyah juga sepakat bahwa pemberlakuan tahaluf tidak harus bertendensi kepada ideologi melainkan kepada maslahat umat.

Dengan demikian, hakikat koalisi bukanlah untuk membagi kue kekuasaan, melainkan untuk membentuk sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok yang diikat secara kuat melalui landasan normatif  (aturan, perjanjian atau kontrak koaliasi) yang dituangkan secara bersama dengan penuh kesadaran untuk dilaksanakan secara bersama pula demi kemaslahatan warga negara.
 
Sungguminasa, 4 Oktober 2024