Hari ini Senin 30 September 2024, civitas akademika UIN Alauddin Makassar memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Peringatan maulid ini tentu bukan sekadar seremoni komunal yang diwarnai oleh hiasan kado minyak (menu tradisional khas Bugis-Makassar), tetapi tentu menjadi simbol kecintaan dan ketaatan kepada Nabi Muhammad. Beliau bukan sekadar Nabi, tetapi pemimpin yang bertahta abadi di dalam hati pengikutnya hingga akhir nanti.
Penulis Barat Michael Hart pada tahun 1978 membuat analisis dan tulisan yang menempatkan Nabi Muhammad saw di urutan pertama dalam seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia. ”...dari seratus orang itu saya susun urutannya menurut bobot arti pentingnya, atau dengan kata lain diukur dari keseluruhan peran yang dilakukannya bagi umat manusia..”demikian tulis Michael Hart.
Tidak ada seorang tokoh pemimpin di dunia saat ini yang pengaruhnya begitu besar menyamai ketokohan Muhammad. Dia bisa jadi dapat disebut seorang pemimpin yang ”tak terdefinisi”. Artinya tidak ada sebuah rangkaian kata dan kalimat yang cukup untuk menggambarkan kesempurnaan kepribadiannya. Karena itu, Michael Hart lebih jauh menyatakan bahwa Muhammad bukan semata pemimpin agama, tetapi juga pemimpin dunia. Pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu (Michael Hart, Seratus Tokoh; 33). Itulah juga sebabnya al-Quran menggambarkan Muhammad sebagai tokoh yang agung (Q.S. al-Qalam:4).
John C. Maxwell membuat lima tangga seni kepemimpinan (leadership art) yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika dia ingin sukses dalam memimpin, sebuah kesuksesan yang tidak saja diraih di saat diamanahkan menjabat sebagai seorang leader, tetapi namanya akan terus terpatri di setiap hati masyarakatnya/bawahannya meski sudah tidak lagi menjadi pemimpin. Kelima tangga seni kepemimpinan itu adalah seorang pemimpin harus; 1) dicintai, 2) dipercaya, 3) diikuti, 4) membimbing, dan 5) memimpin dengan suara hati dan leaving legacy. Jika kelima anak tangga kepemimpinan ini dapat dilewati, maka dia akan menjadi seorang pemimpin abadi.
Sejarah mencatat bahwa Muhammad saw adalah seorang pemimpin yang begitu dicintai oleh pengikutnya. Ikatan emosi kecintaan ini merupakan efek balik dari sifat kasih-sayangnya kepada umatnya. Menurut Imam al-Razi, kasih sayang Muhammad tidak saja diberikan kepada orang muslim tetapi juga non muslim/ahl al-zimmah (Al-Razi, Tafsir al-Kabir: 231) Selama kepemimpinannya, hak-hak sipil baik muslim maupun non muslim sangat terjaga. Ia pernah bersabda: ”Barang siapa menyakiti ahl al-zimmah –(non muslim), maka ia tidak termasuk golonganku”. Toleransi beragama diikat oleh konstitusi Piagam Madinah yang memberikan ruang untuk berbeda tetapi tetap dalam koridor kesatuan dan persatuan. Kasih sayang kepada umat hampir-hampir melebihi sayangnya kepada dirinya sendiri.
Di samping dicintai, Muhammad juga dipercaya. Sejak kecil dia dikenal dengan gelar al-Amin (terpercaya), sebuah gelar terhormat yang hingga saat ini boleh jadi belum ada seorang tokoh pun yang dianugerahi gelar kehormatan ”terpercaya”. Sifatnya yang senantiasa ingin membimbing semakin menambah kepercayaan dan kecintaan umat kepadanya. Hampir semua contoh teladan, baik dalam perkataan maupun perbuatannya diabadikan dalam sebuah referensi monumental yaitu kitab hadis yang tersebar di dalam masyarakat.
Ketokohan Nabi sebagai pemimpin abadi tidak lepas dari keberhasilannya menyiapkan kader. Begitu banyak orang sukses di seantero dunia ini, namun kesuksesan itu hanya melekat pada dirinya dan saat dia menjadi pemimpin. Setelah dia wafat, atau tidak lagi memimpin, kesuksesannya tidak berlanjut, karena tidak memiliki sistem kaderisasi yang dapat meneruskan kesuksesan pendahulunya. Berapa banyak perusahaan, institusi, bahkan negara mengalami kemunduran bahkan kehancuran akibat ketiadaan kader yang profesional.
Sistem demokrasi yang dibangun Nabi telah membongkar tradisi kepemimpinan tribalisme yang sudah berakar dan mendarah daging di kalangan bangsa Arab. Robert N. Bellah bahkan menyatakan bahwa sistem demokrasi dalam kepemimpinan Nabi Muhammad sesungguhnya telah melampaui ruang dan zamannya (Robert N. Bellah: Beyond Belief: 150)
Ketokohan Muhammad sebagai pemimpin sejati juga tidak terlepas dari seni leadership-nya menapaki tangga kelima yaitu memimpin dengan suara hati. Dalam konteks ini Muhammad tampak menyeimbangkan nalar intelektual dengan nalar spiritual. Memimpin bukan semata dilakukan atas landasan kaidah pemikiran yang dibingkai melalui kecerdasan intelektual, tetapi juga harus memperhatikan nalar spiritualitas. Dalam konteks ini, Robert K. Coper menyatakan bahwa orang-orang yang hebat adalah orang yang telah mengukir jati diri di dalam sanubari pengikutnya, karena dia telah melukis kebenaran, kejujuran, keberanian, keadilan, tanggung jawab, kasih-sayang dan keramahan sebagai standar kehidupannya (Robert: Executive EQ; 11). Ini pula yang dibuktikan Muhammad menjelang kewafatannya. Meski dia sedang sakit, dia meminta Ukasah ( sahabat Nabi) untuk memukul punggungnya karena di saat peperangan, cambuk Nabi –tanpa sengaja- pernah mengenai punggung Ukasah. Nabi tidak ingin menyakiti hati sahabatnya lalu membawa dosa di hadapan Tuhan.
Karena keagungan akhlak inilah tidak heran jika di dekat Harvard University tepatnya di Boston USA, terdapat sebuah mesjid yang sering didatangi oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Di sini mereka mempelajari Islam dan kehidupan Muhammad saw., sebuah suasana yang tentu tidak mungkin ditemukan di Timur Tengah maupun di Indonesia.
Sunguminasa 30 September 2024