Pertengkaran narasi tahunan di kalangan umat Islam selalu muncul di bulan-bulan tertentu. Sebutlah misalnya di bulan Ramadhan, umat Islam sering berbeda pendapat tentang kapan memulai dan mengakhiri Ramadhan. Begitu pula saat bulan Desember tiba, umat Islam juga sering perang narasi untuk mempertahankan keyakinannya tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat natal. Begitu pula di bulan Rabiul Awwal, umat Islam juga selalu sibuk mempertentangkan apakah perayaan maulid Nabi itu bidah atau tidak. Umat Islam menghabiskan energi dan mengurasi pikiran dan emosi hanya untuk mempersoalkan hal-hal yang tidak substansial. Di saat Korea Selatan sudah mampu menciptakan berbagaai Hp canggih menggunakan tenaga robot, umat Islam masih jalan di tempat untuk mempersoalkan hal furuiyah yang tidak berujung.
Dari pada menghabiskan energi untuk hal yang tidak produkrtif, mari kita mengenang dan merefleksikan sirah nabawiyah ini untuk memperteguh komitmen dan cinta ita kepada Nabi Muhammad saw. Kehadiran Rasul bukan saja pengayom dan teladan bagi masyarakat muslim atau non muslim, tetapi pembebas bagi kaum tertindas. Itulah sebabnya seorang penulis Barat Michael Hart (1978) membuat analisis dan tulisan yang menempatkan Nabi Muhammad saw di urutan pertama dalam seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia. ”...dari seratus orang itu saya susun urutannya menurut bobot arti pentingnya, atau dengan kata lain diukur dari keseluruhan peran yang dilakukannya bagi umat manusia..”demikian tulis Michael Hart.
Salah satu komunitas yang sangat tertindas pada zamannya adalah kelompok perempuan. Jauh sebelum Nabi lahir, di sejumlah negara seperti China, Persia, Byzantium, bahkan jazirah Arab sendiri, kondisi kaum perempuan sangat menyedihkan. Mereka diperlakukan tidak lebih dari sekedar objek dari kekuasaan laki-laki. Dominasi patriarkis menempatkan perempuan berada di bawah hegemoni kaum laki-laki. Hak-hak pendidikan, politik, ekonomi, budaya tidak diberikan sebagaimana mestinya.
Islam datang melalui Rasulullah membebaskan perempuan dari keterbelengguan semacam ini. Konsep keadilan, kewajiban dan hak-hak perempuan disampaikan Nabi melalui sejumlah sabdanya. Ajaran yang disampaikan Nabi saw membongkar paradigma status quo yang menempatkan perempuan berada dalam kondisi marginal dan imperior.
Jauh sebelum konsep emansipasi, feminisme dan gender mainstreaming digaungkan, Nabi sudah membawa ajaran ini yang tentu dalam konsep tertentu berbeda dengan paradigma yang dikembangkan dunia Barat saat ini. Perbedaan mendasarnya terletak pada ideologi yang dikembangkan. Ideologi feminisme Barat sangat dipengaruhi oleh sosialisme dan marxisme; equality for all, sedangkan feminisme yang diajarkan di dalam Islam adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan dengan tetap berpegang teguh pada sendi-sendi nilai agama dan adi kodrati perempuan.
Sesuai dengan semangat keadilan, Islam memandang perempuan sama dengan laki-laki dari semua sisi kecuali dari sudut kodratnya (Q.S. al-Nahl: 97). Islam menempatkan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Artinya, mereka diberikan kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam hal pendidikan, sosial-budaya, seni, politik dan lain-lain. Islam memandang bahwa nilai luhur setiap manusia hanya ada di sisi Allah sesuai dengan derajat ketakwaannya (Q.S.al-Hujarat: 13). Karena itu, Allah menempatkan proses kejadian laki-laki dan perempuan dalam satu materi yang sama (Q.S. al-Nisa:1). Ini berarti, bahwa dari sudut agama, Islam menghargai posisi perempuan dan sekaligus memberikan ruang gerak yang luas bagi mereka dalam menjalankan fungsi, peran, hak dan kewajibannya.
Jika menengok sejarah Islam, puncak keadilan bagi kaum perempuan (pada zamannya) justeru terjadi pada masa Islam. Pada masa itu, kaum perempuan benar-benar memiliki kesempatan yang luas menjalankan tugas, hak dan kewajibannya dibanding masa sebelum Islam. Doktrin-doktrin Islam yang universal mengangkat harkat dan martabat mereka di tengah masyarakat arab jahiliah. Tradisi-tradisi yang bertentangan dengan Islam segera ditinggalkan dan diganti dengan ajaran Islam yang memberikan semangat keadilan.
Di bidang sosial-budaya misalnya, jika sebelum Islam perempuan hanya memiliki peran domestik dan sering menjadi violence object, namun setelah Islam datang, mereka diberi kesempatan untuk berkipra di masyarakat. Peran domestik sudah melebar kepada peran sosial. Dalam hal warisan, pada awalnya perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa, namun setelah Islam datang, mereka diberi hak untuk mendapat warisan.
Upaya pemberdayaan perempuan ini juga tampak di sektor pendidikan. Rasulullah memacu kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, di zaman Nabi, sudah banyak bermunculan perempuan-perempuan terpelajar. Ruth Roded menyebutkan bahwa di antara koleksi biografi para sahabat, kira-kira 10-15 % entrinya adalah perempuan, 7 % perawi hadis dalam kitab Muwatta karya Imam Malik, juga perempuan, dan terdapat tidak kurang dari 1232 wanita terpelajar tercantum di berbagai koleksi biografi (Ruth Roded: Women in Islam:44). Meski menunjukkan angka yang fantastis, namun Ruth masih menganalisis bahwa boleh jadi masih banyak potensi kaum perempuan seperti itu, tetapi masih tertutupi oleh bias-bias budaya deskriminatif yang masih ada di dalam kultur masyarakat arab pada saat itu.
Pemberdayaan di bidang politik juga tampak di masa ini. Di dalam sejumlah peperangan di zaman Nabi, kaum perempuan bukan saja diajak untuk menyiapkan logistik, tetapi diajak untuk berdiskusi menentukan kebijakan. Munculnya peran kaum perempuan di bidang politik ini disebabkan ruang yang diberikan cukup luas kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai peperangan. Jika ditelaah hadis-hadis Nabi baik secara tekstual maupun kontekstual, akan ditemukan sejumlah hadis sahih yang intinya mendukung pemberdayaan perempuan di segala sektor, dengan catatan tidak melanggar kodratnya sebagai seorang perempuan.
Fatimah Mernissi, tokoh jender dari Maroko mencoba mengeksplorasi dinamika peran dan kiprah perempuan sepanjang sejarah. Ia menemukan fakta bahwa berdasarkan sumber Islam masa awal, sikap Nabi Muhammad terhadap perempuan sangat arif, terbuka dan toleran. Suasana seperti ini berlanjut hingga pada zaman keemasan Islam. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam dan mundurnya pemikiran Islam, nasib perempuan kembali ke titik nol sama seperti sebelum kedatangan Nabi. Olah karena itu, di hari kelahirannya ini, mari kaum perempuan berjuang untuk menegakkan semangat keadilan dan kesetaraan dengan tetap menjunjung tinggi nilai agama dan kodrat kewanitaan.
Sungguminasa, 20 September 2024