Tradisi Maulid : Antara Bahagia dan Marah-Marah

  • 09:53 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Seperti biasanya di bulan Rabi’ul Awal, sejak kran reformasi dan informasi digital dibuka bebas, media-media sosial, seperti facebook, Instagram, whatsaap grup dan sebagainya,  diramaikan dengan postingan-postingan dan status-status terkait perayaan Maulid. Ada yang memposting momen acara perayaan, atau lebih tepatnya peringatan (zikraa) Maulid Nabi SAW dengan penuh kegembiraan dan rasa bahagia, tapi ada juga yang meramaikan beranda media sosialnya dengan tema hujatan, gugatan, menyalahkan dan melarang umat Islam membesar-besarkan hari kelahiran Rasululllah. Satu fenomena yang sejak beberapa tahun terakhir ini menjadi tren ‘musiman’, seperti halnya debat ru’yat hisab jelang 1 Syawal dan perdebatan boleh tidaknya muslim merayakan tahun baru 1 Januari.

Fenomena keberagamaan yang unik memang di Indonesia ini, di satu sisi maulid Nabi disambut dan dirayakan dengan kebahagiaan, di sisi lain ada yang marah-marah dan berusaha menampilkan argumentasi serta dalil yang menyalahkan kebahagiaan orang di momen itu. Keduanya berada di kutub yang berbeda, kutub bahagia dan kutub marah-marah. Perlu ada pola pemahaman yang bisa memoderasi, atau kalau perlu memediasi, dua kutub yang bersilang pendapat tersebut. Apakah Rasulullah justru menjadi gusar ketika umatnya memperselisihkan maulid beliau, bukannya memikirkan dekadensi moral, ketertinggalan ekonomi dan ketertindasan politik  yang tak kunjung akhir dialami sebagian saudara-saudara muslim kita di berbagai wilayah? Untuk itu perlu dipahami beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, kecenderungan manusia, secara psikologis untuk merayakan atau mengapresiasi momen-momen berbahagia dalam hidupnya atau kehidupan orang yang dicintainya adalah hal yang lumrah dan alamiah (thabi’iy). Ketika pasangan hidup anda berulang tahun, lalu anda berikan hadiah surprise dengan kalung emas, jika memungkinkan,  atau baju daster baru, itu adalah wajar dan manusiawi. Tidak ada yang salah dengan itu, dan tetangga tidak perlu mempersoalkan. Jika ada yang menghadiahkan hanya dengan kata-kata atau doa tulus (katanya) kepada pasangannya, itu pun lumrah dan tidak ada masalah. Demikian pula jika ada teman sejawat yang berbahagia dengan “maulid”nya, kita pun mengapresiasi dengan ikut mendoakan atau hadir makan-makan di Saoeng Cobek

Jika istri/suami, anak atau teman karib kita yang berulang tahun kita apresiasi dengan kebahagiaan dan perayaan, sebagai tanda cinta dan kasih, apatah lagi dengan kelahiran manusia termulia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi kemanusiaan? Jadi maulid adalah persoalan ekspresi rasa cinta, keagungan dan harapan untuk memperoleh berkah kerahmatan Nabi Muhammad saw. Ekspresi cinta boleh berbentuk apa saja tanpa harus mencari dalil pembenaran.

Kedua, merayakan Maulid Nabi adalah hal yang tidak dicontohkan oleh Nabi sendiri, Sahabat dan bahkan ulama-ulama panutan seperti Imam Syafi’i dan lain-lain. Tidak  keliru jika dikatakan bahwa perayaan atau peringatan Maulid adalah bid’ah, tetapi bukan dlalalah (kesesatan). Oleh karena itu, ulama nusantara menyepakati bahwa Maulid bukanlah ibadah dan tidak sama sekali berimplikasi taklif. Tidak ada perintah untuk melakukannya secara spesifik, namun juga tidak ada larangannya. Perayaan Maulid adalah tradisi yang bernilai syiar, yaitu memuliakan dan membesarkan agama Allah lewat keagungan Nabi-Nya yang diharapkan terpatri dalam jiwa setiap muslim. Tanpa pengagungan maka tidak ada motivasi untuk meneladani dan mengamalkan sunnahnya. Mengklaim Maulid sebagai ibadah, meski ada tradisi baca Barazanji atau salawatan misalnya, adalah sesat pikir (logical fallacy) yang memicu salah persepsi dan akhirnya salah tindakan yang mengarah kepada sikap in-toleran, bahkan radikal.

Ketiga, jika memang faktanya perayaan Maulid adalah bid’ah, dengan alasan tidak ada bukti diamalkan oleh salafus shalih, lalu dituduhkan semua bid’ah adalah kesesatan, maka pertanyaannya, di mana letak kesesatan perayaan Maulid? Apa yang sesat dengan ceramah atau hikmah yang disampaikan oleh para mubalig yang mengangkat akhlak keteladanan Nabi? Apa yang salah jika Maulid merupakan media pendidikan agama untuk publik umat? Apa yang sesat dengan salawatan melalui kitab al-Barazanji atau Diba’? Apa yang sesat dengan membagi-bagikan shadaqah berupa makanan (ember bingkisan Maulid) dan memberikan kesenangan kepada anak-anak dengan telur warna-warni? Namun, jika ada indikasi kemusyrikan dalam perayaan itu maka wajib dihentikan.

Jika Nabi Muhammad saw sendiri tidak memerintahkan merayakan Maulidnya, itu adalah tanda ke-tawadhu’-an beliau, dan itu tentunya tanda kepongahan yang tidak mungkin ada pada akhlak nabi dan rasul. Para Sahabat Nabi, Tabi’in dan para ulama mazhab tidak memperingati Maulid karena mereka tidak butuh itu untuk menegaskan kecintaan dan kedekatan hati mereka kepada Nabi. Yang sangat membutuhkan Maulid adalah kita umat yang telah sangat jauh jarak masa dan generasi dari Nabi. Yang butuh Maulid adalah para civitas akademika untuk bisa meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan kampus, sehingga jangan ada persepsi bahwa melempari rektorat adalah sama dengan jihad Nabi melawan kaum kafir musyrik. Wallahu a’lam.