Dua hari berturut-turut dilaksanakan Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar 11-12 September 2024. Hari pertama adalah agenda wisuda sarjana angkatan 106, dan hari kedua agenda pengukuhan guru besar UIN Alauddin Makassar.
Seperti biasa, Prof. H. Hamdan Juhannis, MA., Ph.D selaku Rektor UIN Alauddin Makassar dengan gayanya yang khas menyampaikan pesan-pesan akademik. Pesan yang menggugah, penuh dengan nasihat dan kata bijak yang menggugah. Pesan yang dapat memberi motivasi, bahkan menjadi roadmap perjalanan kehidupan yang disampaikan secara terstruktur, terukur dan juga penuh humor.
Dua hari berturut-turut saya menyimak setiap diksi yang disampaikan. Terucap dua diksi yang unik dan menarik di dalam pesan akademik Rektor. Dua diksi yang hemat saya harus saya ulas karena memiliki kedalaman makna yang luar biasa dan memberi pengaruh dalam kehidupan. Dua diksi itu adalah *Mi’raj Intelelektual dan Mega Literasi*
Dalam dunia yang terus berkembang dengan pesat, tantangan intelektual dan sosial semakin kompleks. Manusia dihadapkan pada perubahan besar di berbagai bidang, mulai dari teknologi, informasi, hingga budaya. Untuk dapat beradaptasi dan bertahan di dalam kondisi ini, diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis, memproses informasi dengan cepat, dan menemukan makna mendalam dari realitas yang dihadapi. Dalam konteks inilah Mi'raj Intelektual dan Mega Literas perlu dikembangkan.
Mi'raj intelektual adalah konsep yang menggabungkan spiritualitas dengan pengembangan intelektual. Dalam konteks Islam, Mi'raj merujuk pada perjalanan spiritual Nabi Muhammad saw yang membawanya ke langit untuk bertemu langsung dengan Tuhan. Perjalanan ini bukan hanya fisik tetapi juga merupakan peningkatan spiritual dan pemahaman yang mendalam.
Di dalam kerangka akademis, mi'raj intelektual bisa diartikan sebagai perjalanan pemikiran dan kesadaran manusia menuju tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi yang oleh al-Farabi (Filosof Muslim) disebut sebagai akal mustafad. Proses ini melibatkan pencarian makna yang mendalam dari setiap aspek kehidupan, baik secara material maupun spiritual, melalui studi, refleksi, dan kontemplasi.
Mi'raj intelektual tidak sekadar penambahan informasi atau penguasaan pengetahuan yang bersifat duniawi, melainkan pencapaian wawasan yang lebih dalam terhadap diri, alam semesta, dan makna eksistensial. Seorang filsuf dan psikolog, Carl Jung berbicara tentang perlunya mengintegrasikan aspek-aspek batin manusia dengan realitas eksternal untuk mencapai keutuhan diri. Dalam pandangannya, pencarian intelektual yang sejati harus mencakup eksplorasi dunia dalam serta dunia luar, agar manusia dapat menemukan kedamaian dan pemahaman yang lebih luas.
Hanya saja Mi’raj intelektual tidak akan terwujud jika manusia tidak memiliki mega literasi. Mega literasi adalah konsep yang jauh lebih luas dari literasi konvensional yang biasanya hanya melibatkan kemampuan membaca dan menulis. Mega literasi mencakup berbagai dimensi literasi, seperti literasi digital, literasi informasi, literasi budaya, dan literasi visual. Dalam era digital dan global ini, mega literasi merupakan keterampilan yang sangat penting bagi individu untuk bisa memahami, menafsirkan, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber dan media secara efektif.
Seorang pakar pendidikan, Paul Gee, menekankan pentingnya literasi baru ini sebagai kemampuan untuk terlibat dalam berbagai bentuk interaksi sosial dan media, yang mencakup tidak hanya bahasa tertulis tetapi juga visual, digital, dan simbolis. Dalam pandangannya, literasi kontemporer harus melibatkan keterampilan untuk membaca konteks, memahami simbol-simbol budaya, serta mampu beradaptasi dengan berbagai platform komunikasi.
Pada intinya, mi'raj intelektual dan mega literasi memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami dunia, baik dunia material maupun spiritual. Mi'raj intelektual memberikan arah spiritual, sedangkan mega literasi menyediakan alat yang diperlukan untuk memahami dan menavigasi kompleksitas dunia modern yang penuh dengan informasi. Keduanya saling melengkapi: mi'raj intelektual membawa manusia kepada makna yang lebih dalam dari eksistensi, sementara mega literasi memberikan keterampilan praktis untuk mengeksplorasi, mengkontekstualisasikan, dan menginterpretasikan informasi tersebut. Tanpa mega literasi, mi'raj intelektual bisa menjadi kabur dan sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, tanpa mi'raj intelektual, mega literasi bisa menjadi proses yang dangkal, hanya melibatkan akumulasi informasi tanpa mencapai kebijaksanaan yang sejati.
Menurut ahli pendidikan, Howard Gardner, yang terkenal dengan teori kecerdasan majemuk, mi'raj intelektual bisa dilihat sebagai cara manusia mengembangkan "kecerdasan eksistensial," yaitu kemampuan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar tentang kehidupan dan keberadaan. Sementara itu, mega literasi adalah ekspresi dari kecerdasan linguistik, digital, dan visual, yang semuanya diperlukan untuk mengelola informasi secara efektif. Gardner berpendapat bahwa individu yang mampu menggabungkan kecerdasan eksistensial dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya akan memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap dunia.
Dalam pandangan filsuf Perancis, Henri Bergson, ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan intelektual dan pengetahuan intuitif. Mi'raj intelektual menggabungkan keduanya, dengan pengetahuan intelektual sebagai dasar untuk memahami dunia empiris dan pengetahuan intuitif sebagai jalan untuk meraih wawasan mendalam dan makna spiritual. Mi'raj intelektual mendorong seseorang untuk tidak hanya menggunakan akal rasionalnya tetapi juga mengembangkan intuisi dan perasaan dalam mencapai pemahaman yang holistik.
Mi'raj intelektual dan mega literasi, jika diintegrasikan secara harmonis, dapat membawa manfaat yang luar biasa bagi pengembangan diri individu. Keduanya saling melengkapi; mi'raj intelektual memberikan kedalaman spiritual dan kebijaksanaan, sedangkan mega literasi memberikan keterampilan praktis untuk menghadapi dunia modern.
Sungguminasa 13 September 2024