Keikhlasan dan Kebaikan: Relasi Simbiotik dalam Kehidupan Bermakna

  • 04:27 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Pagi ini saya mendapatkan postingan di WA Group Fakultas dan WA Gorup UIN Alauddin. Postingan itu mengabarkan kondisi Pak Hanafi yang sedang diopname di Rumah Sakit. Saya tertegun sejenak mengamati wajah yang ada di postingan tersebut untuk mengidentifikasi apakah yang dimaksud itu adalah Pak Hanafi yang saya kenal? Ataukah pak Hanafi yang lain?

Saya akhirnya berkesimpulan bahwa yang sakit itu adalah Pak Hanafi yang sering saya jumpai di pertigaan Macanda, atau di Bundara Samata untuk membantu masyarakat mengakses jalan agar tidak mengalami kemacetan.

Pak Hanafi memang berbeda dengan pengatur jalan lainnya yang biasa memungut uang pengguna Jalan berdasarkan kepentingan. Pak Hanafi bekerja secara profesional, mengatur lalu lintas di tengah kepadatan kendaraan dan hingar-bingar perkotaan. Tidak peduli debu, panas atau tanggapan orang lain, Pak  Hanafi hanya focus untuk membantu pengguna jalan agar tidak terjebak dalam kemacetan.

Beberapa hari ini, saya tidak menemukannya lagi. Saya bertanya di dalam hati, kemana pak Hanafi? Apakah pulang ke kampong halamannya di Jawa? Ataukah dia sakit? Pertanyaan inipun terjawab sudah, bahwa dia memang sedang sakit.

Suatu hari saya makan di RM depan gedung  perwakilan BPK di Samata. Sedang asyik makan, Pak Hanafi masuk membawa seorang ibu lansia yang tampaknya tidak mengenal jalan. Pak Hanafi mengajak ibu itu untuk makan siang. Di hati saya, biarlah nanti saya yang membayarkan semua biaya makanan mereka. Tanpa setahu saya, saat saya ingin pulang dan mau membayar makan di kasir, petugasnya berkata,…”tadi sudah ada orang yang membayarkan Pak Hanafi dan ibu lansia itu.” 

Itulah Pak Hanafi, karena dia tulus membantu orang, maka kebaikan pun datang kepadanya. 

Lain lagi dengan cerita Pak Sainal Abidin, sekretaris prodi Ilmu perpustakaan. Dia menuturka, saat ban motornya kemps, pak Hanafilah yang ikut mendorong motor hingga sampai ke tukang tambal ban. Saat dia dikasih uang, dia menolak dan menyatakan dia ikhlas saja menolong. Begitu pula pengalaman pak Dr. Muh. Abduh, M.Ag dosen Fakultas Adab dan Humaniora. Abduh berkata; Pak Hanafi itu pernah bantu-bantu tukang untuk mengerjakan perbaikan rumahnya. Saat pak Abduh memberi uang, pak Hanafi menolaknya. Dia bilang dia hanya ingin membantu saja bukan untuk mencari uang.

Keikhlasan adalah elemen esensial yang menuntun seseorang untuk berbuat baik tanpa pamrih. Dalam setiap tindakan yang dilandasi oleh keikhlasan, terdapat sebuah kekuatan batin yang menggerakkan hati untuk berbuat sesuatu demi kebaikan bersama. Relasi antara keikhlasan dan kebaikan bagaikan simbiosis yang saling menguatkan; keikhlasan memberikan makna yang mendalam pada setiap perbuatan baik, sementara kebaikan yang dihasilkan memperkaya nilai keikhlasan itu sendiri.

Dalam kehidupan yang sering kali dipenuhi dengan tantangan dan godaan untuk berbuat demi keuntungan pribadi, keikhlasan menjadi cahaya penuntun yang menjauhkan kita dari kepalsuan. Kebaikan yang lahir dari keikhlasan adalah kebaikan yang murni, tidak tercemar oleh motif tersembunyi atau keinginan untuk mendapat pujian. Oleh karena itu, kebaikan semacam ini memiliki dampak yang lebih abadi dan memberikan kedamaian batin yang tak ternilai.

Beberapa saat saya membuka kembali WA Group, dan saya menemukan banyak orang yang memberikan donasi ke pak Hanafi melalui UPZ UIN Alauddin Makassar. Pada akhirnya, keikhlasan dan kebaikan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama—keduanya saling melengkapi dan memperkaya, membentuk dasar yang kokoh untuk kehidupan yang penuh makna dan keberkahan.

Semoga pak Hanafi segera sembuh dan kembali beraktivitas di lapangan.

Samata, 30 September 2024