Ketika Uang di atas Segalanya

  • 09:26 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Menarik membaca postingan dengan judul DUNIA AKADEMIK BU MUTIA yang ditulis oleh Adrianti Satriawan, dishare oleh banyak orang di berbagai WA group. Terlepas ceita di dalamnya hanyalah sebuah konstruksi imaginier atau sebuah kisah nyata, intinya postingan tersebut menceritakan betapa uang menjadi segala-galanya dalam hidup.

Dahulu ada istilah bahwa segalanya perlu uang, tetapi uang bukanlah segalanya. Akan tetap bisa jadi istilah ini bisa mengalami perubahan sebagai akibat terjadinya paradigma kehidupan yang membentuk worldview masyarakat. Akibatnya, terbentuk sebuah image yang menjadi keyakinan alam bawah sadar bahwa uang memang berada di atas dan  untuk segalanya. Mau kuliah, kawin, membeli mobil dan kebutuhan lainnya, piknik, hiburan, hingga mau promosi jabatan baik struktural maupun fungsional memerlukan uang.  Karena uang di atas segalanya, maka bagi orang tertentu untuk mendapatkan dan mempebanyak keuangan “yang maha kuasa” dia bisa mendapatkannya dengan cara yang tidak halal. Terjadiilah penipuan, judi konvensional maupun judi online, hingga korupsi demi meraup uang sebanyak-banyaknya, atau mau disebut sebagai Sultan, sebuah istilah popular diIndonesia bagi mereka yang memiliki kekayaan “Wow”. Jika dahulu para pejabat menumpuk kekayaan melalui korupsi secara diam-diam, transaksi di bawah meja, sekarang -meminjam istilah Gusdur- transaksi sudah di atas meja, bahkan dengan meja-mejanya. Hari ini masyarakat lebih tunduk kepada mereka yang memiliki banyak uang daripada mereka yang memiliki banyak ilmu. Uang menjadi Tuhan dalam kehidupan. 

Tidak mengapa orang memiliki pemamahan bahwa segalanya perlu uang, tetapi uang bukan segalanya. Yang berbahaya itu adalah uang memang segala-galanya. Kecintaan kepada uang melebihi cinta kepada Tuhan. Ketika manusia diminta sujud dan menyembah Tuhan, mereka lebih memiliki menjadi abdi (hamba) uang. Buktinya mereka sering lupa kepada Tuhan yang menciptakannya di saat mereka memburu dan mencari uang.  Hidup dihiasi dengan glamuritas berbalut kebahagiaan semu. Yang penting kelihatan kaya, dan layak ditempatkan di kelas VIP dalam setiap perkumpulan.

Ada sebuah pepatah yang layak untuk direnungkan bahwa hidup ini bukan tentang seberapa banyak uang yang didapatkan, bukan seberapa besar investasi yang disimpan, tetapi tentang seberapa besar kebermanfaatannya untuk kemaslahatan. Pepatah ini mengajarkan kita untuk bersikap arif terhadap harta. Agama tidak melarang seseorang mencari harta, mengumpulkan uang, asalkan uang/harta tidak menjadi Tuhannya, tidak dijadikan sebuah prinsip di atas segalanya. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim as menempatkan cinta kepada Allah di atas kecintaan kepada anaknya sendiri (simbol kecintaan duniawi). Ibrahim as sadar bahwa mencintai anak, harta, jabatan di atas segalanya tidak boleh melebihi cinta kepada Allah, sebab semua yang dicintai itu akan meninggalkan kita, atau kita yang meninggalkannya.

Sungguminasa 15 Juli 2024