Judul tulisan ini terinspirasi dari tema sentral Kuliah Umum Grand Syekh al-Azhar Cairo Prof. Dr. Ahmed el-Tayyib yang disampaikan di depan sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa 9 Juli 2024.
Kehadiran beliau beberapa hari di Indonesia sangat bermakna dan urgen mengingat; Pertama, Grand Syekh adalah seorang akademisi sekaligus tokoh agama yang memiliki pengaruh besar khususnya di dunia Islam. Kedua, beliau pernah membuat sejarah dalam tradisi perjumpaan tokoh-tokoh agama dimana pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, beliau bertemu dengan pemimpin tertinggi gereja Katolik Vatikan, Paus Fransiskus, dan bersama-sama menandatangani dokumen persaudaraan kemanusiaan (Human Fraternity Document) yang menegaskan keberpihakan untuk menciptakan perdamaian, sebuah dokumen yang menjadi legacy untuk hadirnya kehidupan yang lebih harmonis dan saling menyapa. Ketiga, beliau merupakan sosok yang sangat concern dengan moderasi beragama yang saat ini juga menjadi agenda prioritas pemerintah. Atas asar itu, sebagai akademisi, juga sebagai fasilitator nasional moderasi beragam, saya tergerak hati untuk menulis refleksi atas sejumlah pemikirannya.
Grand Syekh al-Azhar mengawali ceramahnya dengan menekankan pentingnya meneguhkan keutuhan umat sebagai modal dasar untuk menghadirkan peradaban Islam yang penuh rahmat. Beliau juga menekankan perlunya kewaspadaan masyarakat terhadap intrik dunia luar dan propaganda Barat yang bertujuan memecah belah umat Islam. Menurutnya, ketidakpekaan umat Islam terhadap dua hal penting ini mengakibatkan umat Islam selalu menjadi masyarakat marginal di tengah kompetisi kehidupan dunia.
Pesan ini menjadi sebuah refleksi agar umat Islam saatnya bangkit dari tidur panjangnya. Sejarah pernah mencatat bahwa Islam pernah berkontribusi besar terhadap peradaban dunia. Saat itu, Islam bukan saja sebagai agama, tetapi menjadi inspirasi bagi lahirnya peradaban dunia yang menghasilkan berbagai kemajuan di bidang sains dan teknologi, karena itu kata Grand Syekh al-Azhar, umat Islam tidak boleh merasa inferior di hadapan masyarakat Barat, apalagi mengekor tanpa reserve terhadap semua yang datang dari Barat. Umat Islam harus bangkit merebut kembali peradaban dunia, peradaban yang menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif dan produktif, tidak meninggalkan dan menanggalkan dimensi spiritualitas.
Grand Syekh al-Azhar berpesan agar pemuka agama menjadi pelopor umat dalam hal persatuan dan kesatuan, bukan sebaliknya menjadi sumber perpecahan dan konflik. Menurutnya, perpecahan dan konflik itu disinyalir sering lahir dari lisan dan pena para dai yang tidak memahami prioritas dan fiqih ikhtilaf (perbedaan). Mereka hanya sibuk mempertengkarkan perkara-perkara khilafiyah-furuiyah yang tak pernah berujung pangkal, justeru yang terjadi hanya klaim kebenaran tunggal dan menganggap muslim lain yang berada di luar golongan atau mazhabnya sebagai kelompok sesat bahkan kafir. Akibatnya, mereka lupa dengan isu-isu keumatan yang lebih utama seperti isu Palestina, isu kemiskinan, dekadensi moral dan lain-lain. Padahal aspek yang terakhir ini sejatinya menjadi perhatian bersama karena menyangkut masa depan bangsa dan dunia. Grand Syekh berharap agar masyarakat beragama yang berbeda paham dan mazhab ini untuk tidak saling menyalahkan apalagi mengafirkan. Untuk meneguhkan argumen ini, Grand Syekh al-Azhar mengutip hadi Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas ibn Mālik; ”Barangsiapa yang salat seperti salat kita, berkiblat seperti kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan RasulNya. (HR. Bukhari; 167)
Pesan Grand Syekh al-Azhar ini menjadi catatan dan refleksi penting bagi para tokoh agama dan masyarakat agar dapat mengedukasi masyarakat secara arif, bukan membuat sekat (gab) yang dapat menimbulkan kerawanan baik dalam berbangsa maupun bernegara. Dalam konteks keindonesiaan, kita sudah memiliki sebuah falsafah dan ideologi yang teruji ketangguhannya dan mampu memberikan semangat kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa ini. Kemajemukan masyarakatnya baik dari aspek agama, suku, bahasa dan budaya tidak membuat bangsa ini tercerai berai. Bangsa Indonesia hidup dalam sebuah keluarga yang utuh, harmonis dan sangat toleran meski harus juga diakui di sana-sini masih ada riak-riak kecil konflik sebagai sebuah dinamika hidup berbangsa. Ini semua tidak terlepas dari doktrin Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa yang dibangun berdasar landasan kultural, ideologi, dan nilai-nilai berbasis spiritualitas.
Sungguminasa 12 Juli 2024