Hampir semua umat Islam mengenal sebuah monument di sekitar Ka’bah terdapat yang disebut dengan Maqam Ibrahim. Sebagian orang awam jika mendengar kata maqam, diidentikkan dengan kubur. Maqam Ibrahim terletak berdekatan dengan Hijr Ismail. Bagi orang yang sudah berhaji atau umrah, sudah pasti pernah merasakan salat di area Hijr Ismail, atau di sekitar Maqam Ibarahim. Meski salat dua rakaat sesudah tawaf ini hanya sunnat, tetapi orang berusaha melaksanakannya di dekat atau menghadap Maqam Ibrahim walaupun harus berdesak-desakan. Karena itu para Askar (petugas) biasanya sibuk mengatur jemaah, bahkan terkadang mereka harus memindah (dengan mengangkat) jemaah yang sedang salat, karena mengganggu gerakan tawaf jemaah lainnya. Bagi jemaah haji/umrah, rasanya belum afdal melaksanakan tawaf jika belum salat di dekat Maqam Ibrahim atau Hijr Ismail.
Perintah salat di Maqam Ibrahim ini sesuai dengan perintah Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah; 125, ..”Dan ambillah sebagian Maqam Ibrahim itu sebagai tempat salat. Atas dasar perintah ini, setiap orang yang telah menyelesaikan putaran tawafnya yang ke-7, ia pun melakukan salat sunnat dua rakaat di belakang atau di sekitar Maqam Ibrahim, kemudian mereka berdoa. Hasan Basri, seorang tokoh sufi berkata, jika orang berada dan berdoa di di tempat/posisi Maqam Ibrahim ini, doanya akan diterima oleh Allah.
Monumen Sejarah
Maqam Ibrahim bukanlah kuburan sebagaimana dipersepsikan orang yang belum pernah berhaji/umrah, tetapi sebuah batu (tempat) Nabi Ibrahim pernah bediri ketika dia meninggikan Ka’bah. Tempat ini diabadikan menjadi sebuah monumen yang diletakkan di sisi Baitullah. Atas perintah Khalifah al-Mahdi di masa Bani Abbasiyah, di sekeliling batu Maqam Ibrahim itu diikat dengan perak dan dibuat kandang besi berbentuk sangkar burung.
Maqam Ibrahim merupakan batu yang berwarna antara kekuning-kuningan dan kemerah-merahan. Menurut pengukuran Tahir al-Kurdi (w. 1400 H), tebalnya kurang lebih 20 cm, dan panjang 36 cm. Kedalaman jejak kaki Ibrahim 9-10 cm. Batu maqam diletakkan di atas fondasi marmer setinggi 36 cm, selebar satu meter untuk fondasi dasar.
Menurut sejarah, batu ini pernah dipakai Nabi Ibrahim berpijak ketika membangun Kakbah. Dalam perkembangannya Ka’bah kemudian ditinggikan lagi pada tahun 18 Sebelum Hijriyah oleh kaum Quraisy, menjadi 8.64 meter, dari semulai 4.32 meter. Pintu belakang yang berhadapan dengan pintu utama ditutup. Atap juga dibangun untuk menghalangi orang mencuri barang berharga di dalam Kakbah. Saluran air juga dibuat di atas bagian yang mengarah ke Hijr Ismail.
Karena begitu menarik dan historis, terdapat upaya untuk mencuri Maqam Ibrahim. Karena itu, di masa Raja Fahd bin Abdul Aziz, ia membuat pelindung Maqam Ibrahim yang terbuat dari tembaga baru dengan lapisan emas dan kaca bening 10 mm di bagian terluar. Menurut Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya Sejarah Makkah kaca ini antipanas dan antipecah. Fondasi berupa marmer putih menggantikan fondasi batu granit hitam. Bagian paling bawah dilapisi batu granit kebiru-biruan. Menurut laporan Priyantono (2010) renovasi Maqam Ibrahim menelan biaya 2 juta riyal, selesai pada 1418 Hijriyah.
Ontologi Cinta
Secara fisik, Maqam Ibrahim bermakna tempat berbijak Nabi Ibrahim, namun secara substantif, maqam Ibrahim bermakna kedudukan (maqam) Nabi Ibrahim di hadapan Tuhan.
Di dalam tradisi sufistik, terdapat sejumlah maqam yang harus ditempuh sebagai jalan/tangga menuju atau mendekat kepada Tuhan. Untuk meraih atau menapaki sebuah maqam tertentu tidak mudah. Menurut Harun Nasution (1992) orang harus bertahun-tahun tinggal dalam posisi/maqam tertentu sebelum dia pindah ke maqam berikutnya.
Di antara maqam (tangga/posisi) menuju Tuhan itu menurut Imam al-Gazali adalah; tobat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah dan ma’rifah. Imam al-Qusyairi menambahkan maqam rida, sementara Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj memperkenalkan maqam al-ittihad dan al-hulul.
Ibrahim merupakan sosok nabi yang sangat luar biasa. Di samping dikategorikan sebagai nabi ulul azmi, dan khalilullah (kekasih Allah), dia juga menjadi bapak monotiesme (tauhid) bagi seluruh ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Dua puteranya (Ishak dan Ibrahim as.) juga menjadi nabi dan rasul, bahkan Nabi Muhammad saw sebagai penutup para nabi, memiliki geneologi langsung dari Nabi Ibrahim as.
Sebagai nabi Ulul Azmi, Ibrahim mampu menapaki dan memasuki wilayah maqam tauhid tertinggi dalam hidupnya. Di awal masa remajanya, ia sudah bertanya dan mencari tentang Tuhan sesungguhnya. Q.S. Al-An’am; 77-79 menggambarkan bagaimana Ibrahim mencari Tuhan. Di malam hari dia menatap bintang yang gemerlap, rembulan yang bercahaya dan di siang hari dia menyaksikan matahari yang bersinar. Pada awalnya dia menganggap semua itu sebagai Tuhan, namun ketika semuanya redup dan hilang, dia berkata; “Aku tidak suka kepada sesuatu yang hilang (terbenam)”, selanjutnya dia bersimpuh sambil berkata; Inni wajjahtu wajhiya lillazi fatara samawati wal arda hanifan, wama ana minal musyrikin (Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang musyrik.
Untuk mempertahankan maqam tauhid ini, Ibrahim juga berhadapan dengan Raja Namrud, penyembah berhala yang memerintahkan prajuritnya untuk membakar Ibrahim hidup-hidup. Namun dengan keteguhan tauhidnya, ia tidak mengubah pendiriannya, bahkan dengan komitmennya terhadap maqam tauhid ini, Allah menolongnya dengan mendinginkan api yang membakar (QS. Al-Anbiya; 69).
Keteguhan tauhid Ibrahim tidak hanya sampai di sini, dia diuji dengan sebuah ujian yang amat berat. Setelah lama tidak memiliki anak, Allah mengabulkan doanya dengan memberi keturunan. Namun anak yang paling dicintai dan disayangi itu harus dtinggalkan di lembah Bekkah (baca; Mekkah) demi menjalankan perintah Allah untuk berdakwah ke negeri Palestina. Setelah puluhan tahun, ia disuruh kembali menemui keluarganya berkumpul bersama puteranya Ismail. Namun belum lepas rasa kerinduan itu ditumpahkan kepada anaknya, Allah memintanya untuk menyembelih anaknya di hadapan matanya sendiri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang terdahsyat dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia melebihi tragedi sunami, erupsi gunung merapi, atau gempa bumi.
Ibrahim sukses menghadapi ujian Allah. Dia membuktikan bahwa cintanya kepada Allah melebihi cintanya kepada anak dan keluarganya. Tiada cinta terhadap apapun di hatinya melebihi cinta kepada Allah. Inilah ketauhidan tertinggi dalam kehidupan manusia. Ibrahim sadar jika mencintai anak, harta, keluarga bahkan jabatan, semuanya akan sirna, dan hal ini dapat membuat manusia stress atau putus asa, tetapi jika mencintai Allah di atas segala, maka Allah tidak pernah hilang dan selalu bersama.
Posisi (keadaan) inilah yan dinamakan maqam Ibrahim, sebuah maqam/tangga di mana tidak ada kecintaan dan pegabdian yang tumbuh di hati seseorang kecuali hanya kecintaan dan pengabdian kepada Allah di atas segala-galanya. Di dalam hadis Qudsi Allah berfirman; “Wahai hambaku, aku telah menyiapkan surga untukmu, namun sebelum engkau masuk ke dalamnya, aku telah mengusir setan dari dalamnya. “Istanaku” di dunia ini adalah hatimu. Sudahkah engkau bersihkan harimu selain dariKu”.
Sungguminasa, 7 Juni 2024