Euforia hari raya Idul
fitri setiap tahun di masyarakat muslim di seluruh penjuru Nusantara sudah
merupakan tradisi yang lumrah. Gema dan lantunan suara takbir dan tahmid, meski
memang merupakan sunnah, tetapi lebaran Idul Fitri seakan tidak komplit tanpa
pekikan takbiran pertanda kemenangan. Kemenangan apa? Kata ustad, kemenangan
dari perang melawan hawa nafsu. Karena alasan kemenangan itulah dikumandangkan takbir
dan tahmid, Allahu Akbar Allahu Akbar wa lillahil hamdu.
Pertanyaannya, apakah kita
merayakan kemenangan? Jika dianggap menang dalam perang melawan hawa nafsu
selama bulan Ramadhan, apakah hawa nafsu memang ‘kalah’ atau ‘hanya diam
sejenak’, lalu setelah lebaran berlalu dia siap menerkam kita lebih ganas dari
bulan-bulan sebelumnya? Orang yang merasa menang itu biasanya menganggap
lawannya sudah kalah dan tak berdaya. Menang karena merasa dia sudah aman dari
pengaruh lawannya yang dia kalahkan, meski rasa itu pun bersifat subyektif dan
tidak terukur.
Idul Fitri bukan event kemenangan,
karena lawan kita tidak pernah kalah dan tidak bakalan berakhir. Dia hanya
rehat sejenak, memberi kita kesempatan untuk me’refresh’ pertahanan iman,
me’reload’ amunisi ketakwaan dan mensucikan hati dari ketidakikhlasan yang
melemahkan benteng pertahanan. Bagi yang hanya me’refresh’ perutnya di kala
berpuasa, maka perutnya lah yang akan menjadi sasaran serangan dari lawan pasca
puasa Ramadhan berakhir. Dalam hadis disebutkan bahwa setan-setan dibelenggu
sejak awal Ramadhan, tetapi pastinya akan dilepas setelah Idul Fitri.
Bayangkan, seekor anjing galak yang dirantai selama sebulan, lalu dilepas….apa
yang terjadi?
Menurut pandangan
penulis, Idul Fitri adalah event kelulusan. Lulus dari proses pendidikan
Ramadhan. Lulus dari ujian passing grade kesabaran untuk naik ke level
berikutnya. Kelulusan berbeda dari kemenangan. Anak sekolah yang lulus jangan
merasa menang. Menang melawan siapa? Menang melwan guru? Na’uzubillah.
Karena itu kita tidak pernah setuju anak-anak sekolah yang habis ujian akhir
sekolah merayakan kemenangan dengan corat-coret baju, konvoi dan balapan di
jalanan. Inilah persepsi yang salah tentang kelulusan.
Kelulusan adalah
pencapaian tahap tertentu untuk beranjak menjalani tahap berikutnya dan
seterusnya hingga mencapai puncak pencapaian yang diharapkan. Ibaratnya begini, jika ada siswa SLTA yang
lulus UAN, maka dia telah dianggap memperoleh kompetensi untuk menjalani tahap
di atasnya, yaitu perkuliahan di perguruan tinggi. Tetapi jangan bayangkan
bahwa ujian di perguruan tinggi akan sama atau lebih mudah dari ujian di
Tingkat SLTA. Demikian halnya mahasiswa S1 yang lulus dan melanjutkan ke
jenjang S2, maka dia mestinya bersiap menghadapi tantangan dan ujian yang lebih
tinggi level kesulitannya dari ujian di S1.
Kita yang telah
berpuasa sebulan penuh yakinlah telah lulus dan naik grade (insya
Allah), tetapi bukan menang. Dengan kelulusan itu, kita akan hadapi setan-setan
yang lepas dari kandangnya dan ujian-ujian yang lebih berat ke depan. Ujian
nafsu makan dan minum, ujian mata dan mulut, ujian kemarahan dan dendam, ujian
pikiran-pikiran kotor dan rencana jahat, ujian kedengkian dan iri hati, ujian
ambisius dan keserakahan, ujian kesombongan dan mengecilkan orang, ujian
kezaliman dan ketidakmanusiawian, ujian riya, sum’ah dan pamer
kelebihan, ujian kecurangan dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan,
ujian dari hedonisme dan materialisme harta dan jabatan, ujian kemalasan dan
ketidakpedulian, ujian kekikiran dan mempersulit orang, ujian dari godaan
maksiat dan sebagainya… Apakah kita masih merasa menang?