Apakah anda ingin abadi dan terus dikenang, meski anda hanya sebatas pemimpin di rumah tangga?
Penulis Barat Michael Hart pada tahun 1978 membuat analisis dan tulisan yang menempatkan Nabi Muhammad saw di urutan pertama dalam seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia. ”...dari seratus orang itu saya susun urutannya menurut bobot arti pentingnya, atau dengan kata lain diukur dari keseluruhan peran yang dilakukannya bagi umat manusia..”demikian tulis Michael Hart.
Tidak ada seorang tokoh pemimpin di dunia saat ini yang pengaruhnya begitu besar menyamai ketokohan Muhammad. Dia seorang pemimpin yang ”tak terdefinisi” disebabkan tidak ada sebuah rangkaian kata dan kalimat yang cukup untuk menggambarkan kesempurnaan kepribadiannya. Karena itu, Michael Hart lebih jauh menyatakan bahwa Muhammad bukan semata pemimpin agama, tetapi juga pemimpin dunia. Pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu (Michael Hart, Seratus Tokoh; 33). Itulah juga sebabnya al-Quran menggambarkan Muhammad sebagai tokoh yang agung (Q.S. al-Qalam:4).
Terdapat lima tangga kepemimpinan (leadership art) yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika dia ingin sukses dalam memimpin, sebuah kesuksesan yang tidak saja diraih di saat diamanahkan menjabat sebagai seorang leader, tetapi namanya akan terus terpatri di setiap hati masyarakatnya/bawahannya meski sudah tidak lagi menjadi pemimpin. Kelima tangga kepemimpinan itu adalah seorang pemimpin harus; 1) dipercaya 2) dicintai, 3) diikuti, 4) membimbing, dan 5) leaving legacy. Jika kelima anak tangga kepemimpinan ini dapat dilewati, maka dia akan menjadi seorang pemimpin abadi.
Sebagai role model dari sisi leadership, kita bisa belajar dari Nabi Muhammad saw. Sejak kecil dia dikenal dengan gelar al-Amin (terpercaya), sebuah gelar terhormat yang hingga saat ini boleh jadi belum ada seorang tokoh pun yang dianugerahi gelar kehormatan ”terpercaya”. Sifatnya yang senantiasa ingin membimbing semakin menambah kepercayaan dan kecintaan umat kepadanya. Hampir semua contoh teladan, baik dalam perkataan maupun perbuatannya diabadikan dalam sebuah referensi monumental yaitu kitab hadis yang tersebar di dalam masyarakat. Setelah dia mendapatkan trust (kepercayaan) sebagai modal sosial dan personal, maka masyarakat mulai mencintainya.. Kecintaan itu tumbuh sebagai efek hadirnya sikap dan sifat jujur di dalam dirinya sehingga dikenal sebagai al-amin.
Sejarah juga mencatat bahwa Muhammad saw adalah seorang pemimpin yang begitu dicintai oleh pengikutnya. Ikatan emosi kecintaan ini merupakan efek balik dari sifat kasih-sayangnya kepada umatnya. Menurut Imam al-Razi, kasih sayang Muhammad tidak saja diberikan kepada orang muslim tetapi juga non muslim/ahl al-zimmah (Al-Razi, Tafsir al-Kabir: 231) Selama kepemimpinannya, hak-hak sipil baik muslim maupun non muslim sangat terjaga. Ia pernah bersabda: ”Barang siapa menyakiti ahl al-zimmah –(non muslim), maka ia tidak termasuk golonganku”. Toleransi beragama diikat oleh konstitusi Piagam Madinah yang memberikan ruang untuk berbeda tetapi tetap dalam koridor kesatuan dan persatuan. Kasih sayang kepada umat hampir-hampir melebihi sayangnya kepada dirinya sendiri.
Ketokohan Nabi sebagai pemimpin abadi tidak lepas dari keberhasilannya menyiapkan kader. Begitu banyak orang sukses di seantero dunia ini, namun kesuksesan itu hanya melekat di saat dia memimpin. Setelah dia wafat, atau tidak lagi memimpin, kesuksesannya tidak berlanjut, karena tidak memiliki sistem kaderisasi yang dapat meneruskan kesuksesan pendahulunya. Berapa banyak perusahaan, institusi, bahkan negara mengalami kemunduran bahkan kehancuran akibat ketiadaan kader yang profesional. Nabi tidak ingin Islam yang telah diperjuangkan berhenti di tengah jalan, atau sirna ditelan sejarah. Karena itu, dia menyiapkan kader-kader yang handal dan tangguh seperi Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Di tangan mereka inilah Islam kemudian menyebar ke seluruh wilayah Timur Tengah, lalu dilanjutkan oleh tabiin, tabii tabiin (ulama) hingga Islam menyebar ke sluruh dunia. .
Dalam konteks ini Muhammad tampak menyeimbangkan nalar intelektual dengan nalar spiritual. Memimpin bukan semata dilakukan atas landasan kaidah pemikiran yang dibingkai melalui kecerdasan intelektual, tetapi juga harus memperhatikan nalar spiritualitas. Robert K. Coper menyatakan bahwa orang-orang yang hebat adalah orang yang telah mengukir jati diri di dalam sanubari pengikutnya, karena dia telah melukis kebenaran, kejujuran, keberanian, keadilan, tanggung jawab, kasih-sayang dan keramahan sebagai standar kehidupannya (Robert: Executive EQ; 11).
Selamat menunaikan ibadah puasa