Mentradisikan Magrib Mengaji

  • 09:45 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Di era postmodernisme ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai perubahan sosial dewasa ini melaju begitu cepat hampir-hampir meninggalkan dimensi spiritualitas. Produk-produk yang dihasilkannya kadang menjadi trauma bagi kemanusiaan. Ini  pula yang pernah membuat seorang  fisikawan kenamaan Albert Einstien merasa gundah. Menurutnya ilmu dan teknologi yang mestinya membuat kehidupan sosial menjadi mudah justeru membawa nestapa. Dalam peperangan, ilmu dan teknologi membuat orang saling meracun, membantai dan menjegal. Dalam perdamaian ia telah membuat hidup manusia semakin dikejar dengan waktu dan penuh ketidakpastian.  

Keinginan Einstien ternyata jauh dari cita-citanya semula untuk menyanyikan ”hymne” penuh puji dengan harapan adanya  kemajuan pesat di bidang keilmuan dan sosial. Sebaliknya perkembangan Iptek yang seharusnya merupakan keberkatan justeru menjadi “bumerang” bagi manusia dengan mengalirkan arus globalisasi dan informasi yang demikian dahsyat bahkan menurut Hosen Nasr, teknologi akhirnya menjadi penguasa dan mendominasi alam.   

Masyarakat  modern hari ini didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Durasi waktu 24 jam yang Allah berikan terasa semakin sempit. Jika dahulu kala seorang ibu bisa melahirkan dan mengurus 10 anaknya dan bisa semuanya sukses, saat ini kondisi seperti itu hampir jarang atau bisa jadi mustahil ditemukan. Kaum sudah tidak banyak memiliki waktu untuk mengurus anak-anak yang banya. Jangankan sepuluh orang, tiga orang saja sudah repot…demikian kata salah seorang ibu rumah tangga. 

Banyak kesenangan dan fasilitas  teknologi yang diciptakan manusia sejatinya semakin mempermudah kehidupan manusia dan seharusnya mereka labih banyak memiliki waktu, sebab sebagian perkerjaan sudah diambil alih oleh teknologi mesin, tetapi kenyataannya tidak demikian, justru modernisme semakin membuat manusia sibuk dengan kehidupan sosialitanya.  

Jauh sebelum hadirnya terkonologi informasi, dahulu masyarakat sering memanfaatkan waktu magrib untuk berkumpul bersama keluarga dan memanfaatkannya untuk mengaji al-Quran. Dulu saat saya masih tinggal di desa, lantunan ayat suci al-Quran (dalam bentuk tadarrus) hampir terdengar di setiap rumah-rumah Muslim pedesaan. Anak-anak duduk di depan ibu/bapaknya atau gurunya dengan tekun belajar membaca al-Quran. Antusiasme masyarakat begitu tinggi, sehingga Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) pada masa itu menjadi sebuah even magnet yang dapat menyedot para pengunjung/penonton yang secara kuantitas tidak kalah jumlahnya dengan pegelaran sebuah even musik akbar. Akan tetapi, hari ini kita bisa menyaksikan, betapa even seperti MTQ sudah dikalahkan oleh konser musik. Padahal al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia, bahkan menjadi obat penenang dalam menghadapi kehidupan.

Abdullah Darras sebagaimana dikutip Quraish Shihab (1994) menyatakan bahwa jika al-Quran dibaca, maknanya akan jelas di hadapan kita. Tetapi jika kita membacanya sekali lagi, kita akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai kita dapat menemukan kata atau kalimat yang mempunyai arti bermacam-macam, yang semuanya benar atau mungkin benar. Menurut Abdullah Darras, ayat al-Quran bagaikan intan; setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya. Tidak mustahil, jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak daripada apa yang kita lihat.

Pernyataan di atas melukiskan bagaimana al-Quran menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang mau mempelajari dan mampu memahaminya (Q.S. 16; 44). Oleh karena itu, bagi Fazlurrahman, al-Quran bukan sebatas kitab bacaan, tetapi ia adalah the speaking words (kalimat yang berbicara) yang mengajak pembacanya untuk berdialog bahkan bertanya-jawab.

Karena itu, ketika masyarakat mentradisikan  mengaji, pada hakikatnya dia sedang berdialog akrab dengan al-Quran dan dengan Tuhan pemilik kalam. Dalam dimensi psikologis, di saat malam mulai tiba, kapasitas otak manusia lebih mudah dan nyaman menyerap hal-hal yang berkaitan dengan dimensi spiritualitas. Karena itu, membaca al-Quran apalagi dengan penghayatan merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kembali kegersangan hati yang diakibatkan oleh badai modernism  dan sunami teknologi informasi yang seringkali menghancurkan tatanan nilai dalam kehidupan. Oleh karena itu, jika waktu magrib masih dianggap sibuk, manfaatkn waktu setelah subuh, jika pun sibuk, manfaatkan waktu setelah zuhur atau ashar. Jika pun masih sibuk, berarti memang tidak ada niat untuk membaca al-Quran, apalagi mempelejarinya. 


Selamat Menunaikan Ibadah Puasa