INTEGRASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM PERKAWINAN ADAT DI SINJAI

  • 11:31 WITA
  • Administrator
  • Artikel


I.          Pendahuluan

Sebelum Islam masuk di Sinjai, masyarakatnya telah memegang budaya lokal seperti pada pelaksanaan upacara mappattoanging arajang, mattuppa anak/mappalejja tana, mapparape’ tau malasa, mapparape tau pole, ma’jama tana, mangoloe botting, pagelaran kesenian genrang jong dan elong ugi, ma’rimpa salo dan mattula bala, mappanre tasi, ma’paduppa hassele, dan mappabotting.

Mappabotting (perkawinan) yang di dalamnya ditemukan serangkaian prosesi perkawinan, merupakan budaya lokal khas masyarakat Sinjai yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Budaya tersebut merupakan adat istiadat mereka yang diatur dalam sistem pangadereng. Ini dapat dilihat mulai dari tahap: mammanu’manu, madduta, mappettuada, mappacci, tudang-botting dan marola.

Budaya mappabotting dalam masyarakat Bugis Sinjai mengikuti tradisi adat istiadat yang disertasi ritual tradisional keagamaan. Tradisi tersebut sebagai nilai budaya yang terpola secara otomatis dan memiliki kekuatan legislasi dalam sistem budaya lokal yang disebut dengan pangadereng.

Sehubungan dengan hal tersebut, Sayyed Hosein Nasr menyatakan bahwa tradisi/budaya lokal bisa dikatakan al-sunnah dalam pengertian yang seluas luasnya, mencakup semua aspek tata kehidupan yang melembaga di tengah-tengah masyarakat.[1]

Pendapat tersebut di atas memperkuat pendapat bahwa telah terjadi integrasi dan asimilasi antara Islam dan budaya lokal dalam masyarakat Bugis di Sinjai yang tentu saja sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian khususnya yang bekenaan dengan masalah perkawinan sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam uraian sebelumnya, sehingga penelitian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui berbagai aspek budaya lokal Bugis Sinjai yang terintegrasi dengan pranata keagamaan yang disebut sara’ sebagai salah satu unsur pangadereng.

Dengan demikian, masalah pokok yang dikemukakan di sini adalah, bagaimana eksistensi Islam dalam kaitannya dengan budaya lokal adat perkawinan masyarakat Bugis Sinjai. Sub-sub masalahnya, adalah bagaimana proses islamisasi  Sinjai, bagaimana prosesi perkawinan Bugis dalam budaya lokal Sinjai, dan bagaimana integrasi budaya lokal dalam perkawinan Bugis terhadap ajaran Islam di Sinjai.

Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini berdasar pada field research dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif holistik dengan menekankan tinjauan sejarah. Data yang dikumpulkan bersumber dari lapangan menggunakan metode populasi dan sampel, metode survey, dokumentasi dan wawancara. Untuk data pustaka digunakan metode katalog, indeks, bibliogarfi, kemudian dibuatkan ikhtisar, kutipan, dan ulasan. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah deduktif, induktif, dan komparatif.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep perkawinan bugis dan budaya lokal Sinjai, mengungkap prosesi perkawinan bugis dalam budaya lokal Sinjai,  dan mendeskripsikan intergrasi budaya lokal dalam Perkawinan Bugis terhadap ajaran agama Islam di Sinjai. Kegunaan ilmiah dari penelitian ini diharapkan memiliki sumbangsih yang berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi kemajuan khasanah keislaman dalam bidang ilmu sejarah Islam dan budaya, yang terkait dengan masalah perkawinan. Ditinjau dari segi kegunaan praktisnya, adalah sebagai bahan untuk memahami secara akurat tentang integrasi agama dan budaya lokal di Sinjai.

Secara teoretis keragamaan budaya, tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan lokal masyarakat Sinjai yang terwariskan sejak masa lampau dan dijadikan tradisi secara turun temurun. Bagi masyarakat Bugis Sinjai, perkawinan merupakan salah satu upacara yang sakral dalam kehidupannya. Adat perkawinan di kalangan masyarakat Bugis Sinjai disebut “botting ade, yang proses melalui beberapa fase sebagaimana yang telah disebutkan, dan menimbulkan implikasi maupun persepsi yang berbeda-beda.

 

 II.            Pmbahasan

 

A.     Proses Islamisasi Masyarakat Sinjai

Masyarakat Sinjai jauh sebelum datangnya Islam, sudah mengenal nama Tuhan sebagai Dewata. Tuhan tersebut dikenal dengan nama Dewata SeuwaE. Sebelum Islam datang mereka menganut paham animisme yang percaya terhadap makhluk halus dan roh sebagai sumber kekuatan spiritual. Kepercayaan  animisme tersebut bertumpu pada paham akan kesaktian Puang Lohe atau sering disingkat menjadi Pallohe yang berarti Yang Maha Besar atau Berkuasa. Bentuk kepatuhan mereka adalah dengan aktif menjalankan beberapa ritual kuno seperti Marumatang, yakni mengundang roh-roh leluhur untuk datang meyaksikan aktivitas mereka sebagai manifestasi akan kecintaannya kepada leluhur.

Sejarah perkembangan Islam di Sinjai, dapat dilihat pada dimensi waktu, yang dapat diklasifikasi atas tiga periode atau, yakni masa kerajaan dan pasca kerajaan. Perkembangan Islam di Kabupaten Sinjai pada masa kerajaan memperlihatkan top down, ini terjadi sampai tahun 1670-an. Memasuki tahun 1700-an di wilayah Sinjai hadir seorang ulama bernama, Syaikh Abdul Rahman Puangta Imam Timurung, turut memperkuat perkembangan Islam.

Selanjutnya perkembangan Islam pasca kerajaan di Sinjai, bermula sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan ditetapkannya Sinjai sebagai kabupaten pada tanggal 20 Oktober 1959. Mulai saat itu, tampillah ulama-ulama yang mengembangkan Islam, dan tokoh utama ulama yang banyak disebutkan dalam usaha pengembangan Islam pasca kerajaan atau setelah Indonesia merdeka di Sinjai adalah Kiai Ahmad Marzuki. Periode berikutnya, terutama tahun 1968-an Kiai Ahmad Marzuki mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan Islam, akhirnya tercetuslah idenya untuk mendirikan Pesantren Darul Istiqamah. Dari sini kemudian tampil ulama lain yang mengembangkan Islam di Sinjai seperti H. Abd. Razak, H. Muhammad Kasim, dan H. Muhammad Ali, ketiganya pernah tinggal dan belajar di Mekkah. Mereka dalam mengembangkan Islam di Sinjai lebih menitikkan pada metode dakwah dan pengajian pada satu kampung ke kampung lain, mereka memilih tempat yang sangat memerlukan pendidikan agama.

Pengembangan Islam di Sinjai dipusatkan pula di masjid-mesjid, dan lembaga pendidikan lainnya, ulama Sinjai yang terkenal pokus pada kegiatan ini berdasarkan informasi yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat adalah K. H. Muhammad Tahir, K. H. Muhammad Hasan, K. H. Muhammad Yakub, K. H. Muhammad Ramli, K. H. Muhammad Mustari. Di antara nama yang disebutkan, ini K. H. Muhammad Yakub mengembangkan Islam di Sinjai dengan pokus pada Yayasan Pendidikan yang didirikannya, dan mendirikan pesantren Darul Hikmah Lenggo-lenggo, yang berlokasi di Kampung Maroanging Kecamatan Sinjai Timur.

 

 

B.     Prosesi Perkawinan Bugis Masyarakat Sinjai

Proses perkawinan dalam masyarakat Bugis, khususnya di Sinjai menjadi semacam arena untuk melihat bagaimana masyarakat mengaktualisasikan kearifan lokal yang ada di daerah itu. Dalam prosesi perkawinan itu terdapat beberapa tahap yang dilalui, mulai yakni mammanu’manu’, madduta, mappettuada, mappaccing, tudangbotting, dan marola.

1. Mammanu’manu’

Istilah mammanu’manu’ dalam masyarakat Bugis Sinjai biasa pula di-sebut mappese-pese, mabbaja laleng atau mattiro, yaitu menyelidiki hal ihwal seorang gadis yang ingin dipinang. Biasanya dilakukan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria. Pada proses mammanu’manu’ itu, sudah dapat diketahui dengan jelas nama lengkap gadis tersebut dan nama orang tua, serta keluarganya.

Menurut tokoh masyarakat setempat, idealnya perjodohan di lingkungan masyarakat Sinjai tetap menganut tradisi asli Sinjai, dan adat harus diutamakan, yakni pemilihan jodoh dan perkawinan terjadi antar kalangan yang berstatus sosial sama. Tidak di-inginkan perkawinan yang tidak sederajat, maksudnya bangsawan dengan bangsawan, orang biasa dengan orang biasa, budak dengan budak, bahkan diutamakan perkawinan antar keluarga agar keturunannya tetap terjaga.[2]

Namun seiring perkembangan zaman, terdapat beberapa perubahan dalam tahapan ini. H. Najamuddin Marsuki menyatakan bahwa Perkawinan masa sekarang tidak mesti memakai adat, termasuk dalam pen-jodohan yang membudaya dengan adanya istilah bangsawan dengan bangsawan harus diberlakukan, tetapi seharusnya kembali pada ajaran agama yang tidak membedakan antar manusia dari segi status sosialnya kecuali dari segi ketakwaannya. Perkawinan dengan segala prosesnya, seharusnya merujuk pada apa yang dicontohkan Rasulullah, dan inilah perkawinan yang sebenarnya yang harus dicontohi.

 

2. Madduta

Madduta biasa pula diistilahkan massuro¸yakni meminang, pinangan itu diterima atau tidak, kalau diterima pihak keluarga laki-laki datang membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perkawinan utamanya uang belanja yang disebut doi menre’ atau mappenre balanca. Selain uang belanja, atau mahar bagi darah bangsawan Sinjai, disiapkan pula kerbau/sapi atau yang seharga dengan kerbau/sapi tersebut. Untuk proses madduta diadakan dengan acara mallino, yakni terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi madduta di sini bisa dikatakan sebagai prosesi resmi keluarga laki-laki ke rumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mammanu’manu.

Pada prosesi madduta, berdasarkan survei penulis ditemukan nuansa keakraban, para tamu duduk bersila pada tikar yang telah disediakan. Pada masa lalu, raja disediakan tappere boddong massusung berbentuk bundar persegi. Bagi bangsawan, dalam pelaksanaan mappetu ada semuanya diatur oleh adat termasuk pakaian, tempat duduk dan posisi yang tepat untuk juru bicara kedua belah pihak.

3. Mappettuada 

Mappettuada yakni menetapkan pembicaraan setelah proses madduta dilaksanakan. Pada acara mappettuada, biasanya juga ditindak lanjuti dengan mappasierekeng yakni menyimpulkan kembali kesepakatan-­kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses madduta. Mappettuada ini sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga kedua calon mempelai dan kenalan yang lebih ramai lagi.

Pada kesempatan itu diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ ada atau passio (pengikat) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati.

Pada saat mappettuada dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil, terutama jumlah mahar (sompa) yang disebut dui menre (uang naik) dan sompa (persembahan). Mahar atau sompa di kalangan masyarakat Sinjai, berdasarkan data yang ditemukan, dapat dibedakan menurut tingkat kebangsawanan terdiri atas sompa arua polona arua rellah (88 reall) untuk golongan raja. Sompa enneng pulona enneng rella (66 real) untuk golongan arung yang tidak memerintah. Sompa patappulo eppa rella (44) untuk to deceng. Sompa duappulo dua rella (22) untuk golongan ata malebbi. Sompa seppulo dua rella (12) untuk ata matuna.

Untuk zaman sekarang sesuai hasil survei penulis, besarnya uang naik untuk status sosial menengah ke bawah di kalangan masyarakat Sinjai  sebesar kisaran  Rp. 15 - 50 juta. Sedangkan untuk yang memiliki status sosial tinggi  dari kalangan bangsawan, orang kaya dan anak gadisnya memiliki pekerjaan yang mapan bisa mencapai kisaran Rp. 100-500 jt.

4. Mappaccing

Mappaccing, yakni suatu kegiatan bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu pada calon pengantin. Kegiatan ini dalam budaya masyarakat Sinjai dirangkaian dengan acara mandi kembang pada sore harinya dan mappanretemme pada malam harinya yang disebut tudangpenni. Acara ini dilaksanakan secara terpisah antara calon pengantin perempuan dengan laki-laki di rumah masing-masing.

Mandi kembang dalam istilah masyarakat Sinjai adalah cemme botting atau lebih lazim lagi disebut cemme majang, yang menurut tradisi mereka majang untuk menghilangkan segala kotoran di badan, juga bermanfaat untuk mensucikan diri dari roh-roh jahat dari kedua mempelai dan akan mendapatkan rezki yang halal. Setelah mandi kembang, maka calon penganting berganti pakaian, selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju Bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta akseso­ries lainnya untuk mengi­kuti prosesi tudang penni, yang diawali dengan membaca doa-doa, sebagian masyarakat mentradisikan barazanji dan khatam al-Qur’an yang disebut mappanre temme.

Pada prosesi mappaccing, di kalangan masyarakat Sinjai dalam meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dua kasera. Untuk  golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.

 

5. Tudangbotting

Tudangbotting adalah upacara pernikahan, yang sebelumnya dirangkai dengan acara penting, yaitu akad nikah dengan beberapa prosesi mulai dari madduppa botting, mappenre botting, mengucapkan akad nikah, dan berlanjut ke mappasikarawa botting.

Pada prosesi maduppa botting di kalangan masyarakat Sinjai, diusahakan agar pengantin laki-laki berangkat dari rumahnya menuju ke tempat perempuan pada waktu pagi, ini lazimnya di masyarakat Sinjai sejak masa lalu, tapi sekarang bisa sore atau siang dan tempatnya pun bisa digedung-gedung yang sengaja disewa. Selanjutnya pada proses mappenre botting, yakni mengantar naik ke acara untuk pelaksanaan akad nikah, dan pada acara akad tersebut bapak atau wali calon mempelai perempuan imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh pihak Kementerian Agama, seorang saksi dari pihak keluarga perempuan dan laki-laki. Pengantin laki-laki duduk bersila di depan imam untuk dinikahkan, kemudian setelahnya adalah mappasikarawa, yaknti menyentuh, sentuhan pertama pengantin laki-laki ke kepada pengantin perempuan. Sentuhan ini diharuskan menyentuh ke bahagian tubuh istrinya yang paling halus, biasanya ada tiga sentuhan. Pertama, ubun-ubun, agar laki-laki tidak diperintah istrinya, kedua bagian atas dada agar kehidupan suami istri dapat mendatangkan rezki seperti gunung, ketiga jabat tangan atau ibu jari artinya suami isteri saling mengerti sehingga tidak terjadi pertengkaran, atau saling memaafkan bila terjadi kesalahpahaman.[3]

6. Marola

Setelah pesta perkawinan, maka yang terakhir adalah marola atau mapparola, yakni kunjungan balasan dari pihak mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh iring-iringan yang biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai perempuan dan pengiringnya tiba di rumah mempelai laki-laki, mereka langsung disambut oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian dibawa ke pelaminan. Kedua orang tua mempelai laki-laki segera menemui menantunya untuk memberikan hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai tanda kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah berupa cincin atau kain sutera kepada mempelai perempuan, kemudian disusul oleh tamu undangan memberikan passolo (kado).

Setelah marolah dan semua rangkaian upacara perkawinan dilangsung-kan, di kalangan masyarakat Sinjai berdasarkan temuan penulis masih terdapat sejumlah kegiatan yang masih menjadi budaya dan tradisi mereka di antaranya adalah mallukka, ziarah kubur, dan massita béseng (pertemuan besan).

C.     Integrasi Islam dengan Perkawinan Lokal Sinjai

Integrasi budaya adalah proses penyesuaian diantara unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga mencapai keserasian fungsinya dalam kehidupan masyarakat.[4] Proses integrasi budaya biasanya menyebabkan beberapa karakteristik dari komunitas budaya asli terserap, karena terjadi persentuhan yang saling membutuhkan, baik secara kultural,[5] maupun spiritual.[6] Pada segi kultural menyangkut adaptasi budaya sehingga terjadi kesamaan yang membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Sedangkan pada segi spiritual, menyangkut adaptasi budaya yang berkenaan dengan nilai-nilai keagamaan sehingga kelihatan membentuk kebudayaan baru padahal yang sebenarnya tetap ada perpaduan di antara keduanya.

1.      Integrasi Kultural Spiritual

Secara kultur masyarakat Bugis Sinjai sangat berpegang teguh pada sistem pangngaderreng.[7] Dalam masyarakat tersebut terdapat seperangkat tata nilai pangngaderreng yang secara kultur merupakan etika hidup yang diyakini dan menjadi frame of reference (rujukan utama) tentang bagaimana seharusnya seseorang berbuat, bersikap dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi dan kadang-kadang dapat dikatakan membentuk keseluruhan sikap masyarakat seperti yang terdapat dalam prosesi perkawinan mereka, yang kemudian terintegrasi ke dalam pangadereng, yakni adat istiadat mereka.

Secara kultur masyarakat Bugis Sinjai sangat berpegang teguh pada sistem pangngaderreng yang berkaitan dengan sarak sehingga dalam konteks perkawinan ditemukan segi-segi integrasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Seperti pada proses mammanu’-manu’ yang mereka berpegang teguh pada adat-istiadat, maka guna mendapatkan jodoh yang tepat harus di kalangan yang berstatus sosial sama. Dalam syariat Islam pun diharuskan demikian, sebagaimana sabda Nabi Muhmmad saw., dalam hadisnya bahwa

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِحَسَبِهَا وَ لِمَالِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ  (رواه أبوداود)

Term “لِحَسَبِهَا” dalam hadis itulah yang menegaskan bahwa dalam memilih jodoh, didasarkan pada segi “sama-sama keturunan bangsawan”. Jadi sarak di sini mensyaratkan adanya aturan adat mencari pasangan yang setara dari segi asal-usul keturunan. Dengan berasimilasi budaya dengan ajaran Islam, maka sesuai pula realitasnya masyarakat Bugis Sinjai dalam memilihkan jodoh anak-anak dan keluarganya lebih cenderung mempersyaratkan faktor agama sesuai hadis tersebut dan tetap melihat segi keturunan atau kebangsawanannya.

Selanjutnya pada prosesi madduta, yakni prosesi meminang mengandung harapan serta nilai-nilai spiritual keislaman yang sangat mendalam, karena itu pihak laki-laki dalam meminang perempuan dengan baik-baik melalui keluarganya. Islam tidak mengizinkan seorang gadis menikah sendiri tanpa adanya wali atau tanpa sepengetahuan keluarganya. Demikian pula mas kawin, yakni mahar atau sompa, dalam Islam dianggap sebagai ungkapan kasih saying dan bentuk pengakuan terhadap kemanusiaan dan kemuliaan perempuan sebagaimana dalam Q.S. al-Nisa/4: 4, yakni:

 وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Oleh karena itu perkawinan dalam masyarakat Sinjai mewajibkan adanya mas kawin (mahar). Kemudian pada upacara mandi kembang, oleha masyarakat Sinjai dianggapnya sebagai upaya pembersihan jasmani dan rohani yang dianjurkan oleh sarak, pada mappaccing itu juga dilibatkan kerabat dan keluarga sebagian bagian dari ajang silaturahim berdasarkan syariat. Dalam kegiatan itu pula, setelah Islam dating diadakan doa-doa dan tradisi khatam qur’an sebagian masyarakat juga melaksanakan pembacaan barazanji yang dianggap sebagai bagian dari amalan sarak.

Demikian pada acara tudangbotting yang dahulunya tidak dikenal ceramah walimatul urusy, setelah masuknya Islam maka ceramah tersebut diagendakan dalam acara tudangbotting, sehingga ditemukan integrasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Selanjutnya pada prosesi mapparola mengandung nilai-nilai ajaran Islam dalam hal memperkuat tali silaturrahmi antara dua keluarga besar.