Gowa, 6 Oktober 2025 - Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar kembali menunjukkan komitmennya dalam mengikuti perkembangan teknologi dan penerapannya di dunia akademik melalui gelaran Seminar Bulanan (Monthly Discussion) yang diadakan pada Senin, 6 Oktober 2025. Bertempat di Ruang Senat FAH Lantai 2, diskusi kali ini mengusung tema yang sangat relevan dan mendesak: "Genius: Generative AI for Ethical use in Nurturing Innovative Usage."
Acara yang
diselenggarakan oleh Center for Research and Capacity Building (CRCB)
FAH ini sukses menarik perhatian, dihadiri oleh sejumlah besar dosen dan
mahasiswa di lingkungan fakultas, menunjukkan tingginya antusiasme komunitas akademik
terhadap isu-isu terkini, khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan buatan
atau Artificial Intelligence (AI).
Seminar inti
disampaikan oleh narasumber utama, Dr. Purnama Cahya, M.Pd., seorang akademisi
yang dikenal memiliki kepakaran dalam integrasi teknologi dan pendidikan. Dalam
paparannya, Dr. Purnama Cahya memperkenalkan akronim "Genius" bukan
hanya sebagai representasi kecerdasan, tetapi juga sebagai panduan etis dan
praktis dalam penggunaan Generative AI.
Menurut Dr.
Purnama, Generative AI, seperti ChatGPT, Gemini, DALL-E, atau sejenisnya
telah merevolusi cara kerja, berpikir, dan berkreasi di berbagai sektor,
termasuk dunia akademik. Namun, pesatnya kemajuan ini membawa serta tantangan
etika yang kompleks, mulai dari isu plagiarisme, orisinilitas karya, hingga
bias algoritmik yang dapat memengaruhi keadilan dan kebenaran informasi.
"Kita tidak
bisa menolak AI; itu seperti mencoba menghentikan gelombang," ujar Dr.
Purnama mengawali materinya. "Tugas kita sebagai akademisi dan intelektual
adalah mengarahkannya. Inilah mengapa kita merumuskan Genius, yang merupakan
singkatan dari Generative AI for Ethical use in Nurturing Innovative Usage."
Dr. Purnama
menguraikan bahwa penggunaan AI yang 'inovatif' tidak hanya berarti
menggunakannya untuk mempercepat pekerjaan, melainkan bagaimana AI dapat
digunakan untuk mendorong batas-batas penelitian, pengajaran, dan kreativitas
yang sebelumnya sulit dicapai oleh manusia. Sebagai contoh, dalam bidang
Humaniora, AI dapat membantu menganalisis data teks dalam jumlah besar (Big
Data Text Analysis) untuk menemukan pola linguistik atau budaya yang
tersembunyi, membuka perspektif baru dalam penelitian sastra atau sejarah.
Bagian penting
dari seminar ini berfokus pada dimensi 'etika' dalam kerangka Genius. Dr.
Purnama menekankan bahwa tanpa kesadaran etis yang kuat, alat AI yang canggih
justru bisa merusak integritas akademik. Ia menyoroti beberapa poin krusial
yang perlu diterapkan oleh dosen dan mahasiswa FAH, yaitu:
- Transparansi Sumber: Kewajiban
untuk secara jelas menyebutkan bahwa AI telah digunakan sebagai alat
bantu, bukan sebagai pengganti pemikiran orisinil.
- Verifikasi Kritis: AI generatif
rentan terhadap "halusinasi" atau menghasilkan informasi yang
salah. Oleh karena itu, semua output AI harus diverifikasi secara
kritis menggunakan sumber-sumber ilmiah yang kredibel.
- Kepemilikan Intelektual: Diskusi
mengenai siapa yang berhak atas hak cipta karya yang dihasilkan dengan
bantuan AI, menuntut pembaruan pada kebijakan akademik yang ada.
"Etika adalah
kompas kita di lautan teknologi yang cepat berubah," tegas Dr. Purnama.
"Bagi mahasiswa, AI adalah asisten, bukan pembuat tugas akhir. Bagi dosen,
AI adalah katalis inovasi metode pengajaran, bukan pengganti peran
pengajar."
Seminar ini
ditutup dengan harapan bahwa semangat "Genius" akan terus bersemi,
menjadikan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar sebagai pusat
unggulan dalam mengintegrasikan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan etika akademik yang kuat. Diskusi semacam ini diharapkan dapat
rutin diselenggarakan untuk menjaga up-to-date pengetahuan komunitas
akademik FAH di tengah laju perkembangan teknologi yang tak terelakkan.