Wawasan Kritis Era Digital: FAH UIN Alauddin Makassar Kupas Tuntas 'Hutang Kognitif dan Mimpi Buruk AI dalam Pendidikan'

  • 04 November 2025
  • 09:32 WITA
  • Administrator
  • Berita

Gowa-Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat tradisi keilmuan dan diskusi kritis melalui kegiatan rutin Monthly Discussion Dosen. Kali ini, forum ilmiah yang diselenggarakan oleh Center for Research and Capacity Building FAH tersebut mengusung tema yang sangat relevan dan mendesak di tengah gempuran teknologi: "Hutang Kognitif dan Mimpi Buruk Menggunakan Artificial Intelligence (AI) dalam Konteks Pendidikan," pada 3 November 2025.

Acara yang berlangsung khidmat di Ruang Senat Lantai 2 Fakultas Adab dan Humaniora ini menghadirkan narasumber tunggal, Muhammad Naufal Mahdi, S. Hum., M. A., dosen CPNS dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Diskusi ini tidak hanya dihadiri oleh dosen-dosen FAH dari berbagai disiplin ilmu humaniora, tetapi juga menarik perhatian dari akademisi dan peneliti yang tertarik pada isu perpotongan antara teknologi, etika, dan pendidikan.

Muhammad Naufal Mahdi, dalam pemaparannya yang mendalam, membuka diskusi dengan memperkenalkan konsep 'Hutang Kognitif' (Cognitive Debt). Istilah ini merujuk pada potensi penurunan atau stagnasi kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan kognitif mendasar lainnya pada mahasiswa akibat ketergantungan berlebihan pada alat bantu berbasis AI, seperti chatbot atau generator konten.

"Sama seperti hutang finansial yang harus dilunasi dengan bunga, hutang kognitif adalah biaya tersembunyi dari kemudahan instan yang ditawarkan oleh AI," tegas Naufal. Ia menjelaskan bahwa ketika AI selalu memberikan jawaban siap saji, proses struggle atau perjuangan intelektual yang esensial dalam pembelajaran menjadi tereliminasi. Padahal, justru proses inilah yang membentuk sinapsis dan memperkuat daya nalar. Tanpa adanya perjuangan tersebut, kapasitas otak untuk berpikir mandiri dan mendalam akan tergerus, yang pada akhirnya akan menjadi penghalang besar bagi inovasi dan kreativitas di masa depan.

Lebih lanjut, Naufal Mahdi memetakan dualitas peran AI dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, AI menawarkan peluang luar biasa untuk personalisasi pembelajaran, efisiensi tugas administrasi dosen, dan akses ke sumber daya yang tak terbatas. Namun, di sisi lain, potensi "mimpi buruk" AI jauh lebih mengkhawatirkan dari sekadar isu plagiarisme.

"Mimpi buruk terbesar AI dalam pendidikan bukan hanya soal mahasiswa mencontek esai dari ChatGPT," ujar Naufal. "Ini tentang hilangnya 'otentisitas berpikir'. Kita berisiko melahirkan generasi yang mahir memanipulasi prompt atau perintah, tetapi miskin ide orisinal dan kemampuan untuk mengembangkan argumen yang kohesif secara independen."

Dia juga menyoroti masalah validitas dan bias algoritma AI. Ketergantungan pada model bahasa besar (LLMs) yang dilatih dengan data dari konteks Barat atau Anglo-Saxon dapat secara halus mengikis pemahaman dan perspektif lokal atau Islami dalam konteks UIN Alauddin Makassar. Hal ini menuntut dosen untuk tidak hanya mengajarkan cara menggunakan AI, tetapi juga "literasi AI kritis" kemampuan untuk menguji, membandingkan, dan mendekonstruksi luaran dari AI.

Naufal Mahdi menggarisbawahi beberapa langkah konkret yang dapat diambil oleh para pendidik:

  1. Redefinisi Asesmen (penilaian dengan mengubah format ujian dan tugas dari sekadar menghasilkan produk (esai, makalah) menjadi proses berpikir yang terlihat. Misalnya, meminta mahasiswa mendokumentasikan proses prompting AI, menganalisis luaran AI, atau menyajikan argumen yang harus dibela secara lisan (ujian lisan).
  2. Mengajarkan AI sebagai alat kolaborasi, bukan substitusi dengan menempatkan AI sebagai copilot dalam penelitian, bukan sebagai pengganti pemikir. Dosen harus mengajarkan cara menggunakan AI untuk mengumpulkan data atau menyusun kerangka awal, sambil menekankan bahwa analisis, interpretasi, dan kesimpulan harus tetap menjadi wilayah eksklusif manusia.
  3. Mengintegrasikan etika AI dalam kurikulum dengan memasukkan diskusi tentang implikasi moral dan sosial penggunaan AI ke dalam mata kuliah Humaniora, Filologi, dan Sastra, sehingga mahasiswa memiliki kerangka etis yang kuat sebelum menggunakan teknologi ini.

Center for Research and Capacity Building FAH akan terus memfasilitasi forum-forum semacam ini. Isu AI adalah keniscayaan, dan FAH harus menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa teknologi ini membantu menguatkan 'Adab' dan bukan justru menenggelamkan 'Humaniora'.

Kegiatan Monthly Discussion Dosen ini sekali lagi sukses menjadi wadah strategis bagi dosen FAH untuk berkolaborasi, berbagi temuan riset, dan menyusun strategi adaptasi kurikulum dalam menghadapi tantangan era digital, memastikan bahwa lulusan UIN Alauddin Makassar tetap memiliki kualitas kognitif yang kokoh dan berintegritas.