Gowa-Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat tradisi keilmuan dan diskusi kritis melalui kegiatan rutin Monthly Discussion Dosen. Kali ini, forum ilmiah yang diselenggarakan oleh Center for Research and Capacity Building FAH tersebut mengusung tema yang sangat relevan dan mendesak di tengah gempuran teknologi: "Hutang Kognitif dan Mimpi Buruk Menggunakan Artificial Intelligence (AI) dalam Konteks Pendidikan," pada 3 November 2025.
Acara yang
berlangsung khidmat di Ruang Senat Lantai 2 Fakultas Adab dan Humaniora ini
menghadirkan narasumber tunggal, Muhammad Naufal Mahdi, S. Hum., M. A., dosen
CPNS dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Diskusi ini tidak hanya dihadiri
oleh dosen-dosen FAH dari berbagai disiplin ilmu humaniora, tetapi juga menarik
perhatian dari akademisi dan peneliti yang tertarik pada isu perpotongan antara
teknologi, etika, dan pendidikan.
Muhammad Naufal
Mahdi, dalam pemaparannya yang mendalam, membuka diskusi dengan memperkenalkan
konsep 'Hutang Kognitif' (Cognitive Debt). Istilah ini merujuk pada potensi
penurunan atau stagnasi kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan
keterampilan kognitif mendasar lainnya pada mahasiswa akibat ketergantungan berlebihan
pada alat bantu berbasis AI, seperti chatbot atau generator konten.
"Sama seperti
hutang finansial yang harus dilunasi dengan bunga, hutang kognitif adalah biaya
tersembunyi dari kemudahan instan yang ditawarkan oleh AI," tegas Naufal.
Ia menjelaskan bahwa ketika AI selalu memberikan jawaban siap saji, proses struggle
atau perjuangan intelektual yang esensial dalam pembelajaran menjadi
tereliminasi. Padahal, justru proses inilah yang membentuk sinapsis dan
memperkuat daya nalar. Tanpa adanya perjuangan tersebut, kapasitas otak untuk
berpikir mandiri dan mendalam akan tergerus, yang pada akhirnya akan menjadi
penghalang besar bagi inovasi dan kreativitas di masa depan.
Lebih lanjut,
Naufal Mahdi memetakan dualitas peran AI dalam dunia pendidikan. Di satu sisi,
AI menawarkan peluang luar biasa untuk personalisasi pembelajaran, efisiensi
tugas administrasi dosen, dan akses ke sumber daya yang tak terbatas. Namun, di
sisi lain, potensi "mimpi buruk" AI jauh lebih mengkhawatirkan dari
sekadar isu plagiarisme.
"Mimpi buruk
terbesar AI dalam pendidikan bukan hanya soal mahasiswa mencontek esai dari
ChatGPT," ujar Naufal. "Ini tentang hilangnya 'otentisitas berpikir'.
Kita berisiko melahirkan generasi yang mahir memanipulasi prompt atau
perintah, tetapi miskin ide orisinal dan kemampuan untuk mengembangkan argumen
yang kohesif secara independen."
Dia juga menyoroti
masalah validitas dan bias algoritma AI. Ketergantungan pada model bahasa besar
(LLMs) yang dilatih dengan data dari konteks Barat atau Anglo-Saxon dapat
secara halus mengikis pemahaman dan perspektif lokal atau Islami dalam konteks
UIN Alauddin Makassar. Hal ini menuntut dosen untuk tidak hanya mengajarkan
cara menggunakan AI, tetapi juga "literasi AI kritis" kemampuan untuk
menguji, membandingkan, dan mendekonstruksi luaran dari AI.
Naufal Mahdi
menggarisbawahi beberapa langkah konkret yang dapat diambil oleh para pendidik:
- Redefinisi Asesmen (penilaian
dengan mengubah format ujian dan tugas dari sekadar menghasilkan produk
(esai, makalah) menjadi proses berpikir yang terlihat. Misalnya, meminta
mahasiswa mendokumentasikan proses prompting AI, menganalisis
luaran AI, atau menyajikan argumen yang harus dibela secara lisan (ujian
lisan).
- Mengajarkan AI sebagai alat kolaborasi,
bukan substitusi dengan menempatkan AI sebagai copilot dalam penelitian,
bukan sebagai pengganti pemikir. Dosen harus mengajarkan cara menggunakan
AI untuk mengumpulkan data atau menyusun kerangka awal, sambil menekankan
bahwa analisis, interpretasi, dan kesimpulan harus tetap menjadi wilayah
eksklusif manusia.
- Mengintegrasikan etika AI dalam kurikulum
dengan memasukkan diskusi tentang implikasi moral dan sosial penggunaan AI
ke dalam mata kuliah Humaniora, Filologi, dan Sastra, sehingga mahasiswa
memiliki kerangka etis yang kuat sebelum menggunakan teknologi ini.
Center
for Research and Capacity Building FAH akan terus
memfasilitasi forum-forum semacam ini. Isu AI adalah keniscayaan, dan FAH harus
menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa teknologi ini membantu menguatkan
'Adab' dan bukan justru menenggelamkan 'Humaniora'.
Kegiatan Monthly
Discussion Dosen ini sekali lagi sukses menjadi wadah strategis bagi dosen
FAH untuk berkolaborasi, berbagi temuan riset, dan menyusun strategi adaptasi
kurikulum dalam menghadapi tantangan era digital, memastikan bahwa lulusan UIN
Alauddin Makassar tetap memiliki kualitas kognitif yang kokoh dan
berintegritas.

