REPUBLIKNEWS.CO.ID, – Empat bulan silam, dia sebenarnya sudah memperlihatkan tanda-tanda putus asa. Sudah tak semangat lagi mengurus jabatan akademik tertinggi yang diidam-idamkan oleh setiap akademisi. Guru besar atau profesor. Dia sudah siap pasrah pensiun saja dalam usia 65 tahun sebagai dosen, meski pada tahun 2013 sudah meraih gelar akademik tertinggi, doktor, di UIN Alauddin Makassar.
Namun, Prof. Dr .H. Ahmad Thib Raya, M.A., sahabat karib yang boleh disebut saudara lain ibu dan ayah, menguatkan tekad Dr. H.M. Dahlan, M.,M.Ag, — pria yang dimaksudkan hampir frustrasi itu — . meraih jabatan akademik tertinggi yang sudah di ambang pintu.
“Empat bulan lalu dia hampir frustrasi, tetapi saya selalu menguatkan semangatnya,” kata Ahmad Thib Raya pada acara pengukuhan jabatan Guru Besar sahabatnya itu Prof.Dr.H.M.Dahlan M. M.Ag. di Gedung Rektorat UIN Alauddin Samata Gowa, Selasa (22/10/2019) kemarin.
Kata Thib, panggilan akrab Pelaksana Tugas Sementara Rektor UIN Alauddin 2015 ini, empat syarat untuk meraih jabatan profesor.
Pertama, usaha dengan memenuhi syarat yang diperlukan. Kedua, selalu bersilaturahim dengan orang yang mengurus jabatan guru besar. Ketiga, bersedekah pada mereka yang mengurus jabatan itu, dan keempat, berdoa.
Pengukuhan jabatan guru besar bagi seorang dosen, sangat bergengsi bagi sebuah perguruan tinggi. Banyaknya guru besar akan menentukan akreditasi satu lembaga institusi.
“Pengukuhan guru besar hari ini bagi Dahlan, bagaikan akikahnya guru besar,” ujar Thib, pria kelahiran Bima 21 April 1955, yang masuk Fakultas Adab IAIN Alauddin tahun 1974, satu angkatan dengan sahabatnya itu. Bahkan pada angkatannya, sudah lima guru besar yang ditelurkan UIN Alauddin, selain Thib, dan Dahlan, juga ada Rahim Yunus, Kadir Ahmad, dan seorang lainnya, Sabaruddin Garancang.
Bagi Rektor UIN Alauddin, Prof. Dr. Hamdan Juhanis, acara pengukuhan ini memiliki rasa, romantika, dan bagaikan pertemuan dengan seseorang yang hilang serta disupor oleh berbagai pihak. Ini sebuah pencapaian yang luar biasa dan merupakan cambuk bagi yang lainnya agar segera meraih jabatan guru besar.
“Sosok Prof. Dahlan bisa jadi sebuah pembelajaran. Pembelajaran akan dahsyatnya persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Ini tidak terjelaskan dan tak tersentuh oleh lidah,” kata Hamdan.
Ini persahabatan yang sangat produktif dan profesional, katanya lagi, karena pencapaian ini justru direnggut dua bulan menjelang pensiun. Guru besar merupakan cita-cita tertinggi seorang akademisi.
Oleh sebab itu, Hamdan berharap, dengan pencapaian ini, bagaimana seorang guru besar dapat membantu institusi menjadi agen perubahan. Bagaimana guru besar bisa meningkatkan keahlian orang-orang di lembaga ini. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi pemicu lahirnya karakter inovatif terciptanya soft skill, life skill, kewirausahaan, yang sangat relevan dengan karakter inovatif tersebut.
Usai Rektor UIN Alauddin memberikan amanatnya, Thib menyerahkan cendera mata dan cendera hati kepada Dahlan, sahabatnya. Cendera mata untuk dilihat dan cendera hati untuk diingat.
Persahabatan Thib dengan Dahlan memang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang 45 tahun dan tak pernah putus. Berawal ketika keduanya sama-sama mengayuh sepeda ontel menapaki tahun pertama kuliah di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar tahun 1974.
Persahabatan ini sebenarnya lahir dari suatu kedarutan atau ketidaksengajaan. Itu berawal pada suatu pagi buta saat masa bimbingan mahasiswa (Masbim) atau malam inaugurasi. Ketika itu, Dahlan, yang posturnya memang sedikit kurus, tiba-tiba saja jatuh pingsan. Lonceng menunjuk pukul 03.00 dinihari.
Pada pukul 06.00, usai Dahlan siuman, para peserta Masbim sedang bergegas pulang ke rumah masing-masing. Pria kelahiran Sinjai 12 November 1954 ini saat itu mengaku tidak punya tenaga apa-apa. Habis, baru saja siuman dari pingsan.
“Anda tinggal di mana?,” tiba-tiba terdengar suara seorang pria berkulit putih dan rambut lurus menyapanya.
“Saya tinggal di Jl. Pongtiku,” jawab Dahlan dengan tenaga yang tersisa.
“Ayo kita jalan bersama,” ajak pria yang semula Dahlan tidak kenal itu ternyata bernama lengkap Ahmad Thib Raya.
“Saya tidak bisa jalan dan membawa barang-barang saya,” Dahlan yang masih lemas menjelaskan. Ketika Ahmad – begitu Dahlan biasa memanggil Thib waktu itu – mengajaknya, kendaraan umum yang tersedia sudah disesaki oleh sekitar 500-an peserta Masbim.
Tanpa pikir panjang, Thib mengambil barang-barang Dahlan dan memegang tangannya. Dia menuntunnya hingga ke Pa’baeng-baeng, tempat dia kemudian naik bemo (kendaraan pete-pete tiga roda) yang membawanya ke Jl. Pongtiku.
“Siapa gerangan orang ini?. Sungguh mulia perangainya. Sebelumnya saya belum pernah mengenalnya. Saya hanya melihat sepintas lalu pada saat Masbim. Begitu tulus hatinya menolong saya,” demikian pertanyaan yang bergelayut dalam diri Dahlan dalam perjalanan di atas bemo menuju Jl. Pongtiku. Dan, ternyata “kecelakaan” inilah yang mengawali persahabatan mereka.
Persahabatan mereka tidak saja dengan tiga sahabat lain yang satu angkatan dan sama-sama meraih jabatan profesor, namun Dahlan juga mengenal seorang perempuan. Perempuan itu bernama Salmah Intan, yang ternyata kemudian menjadi pasangan hidup Dahlan hingga sekarang.
Sebelumnya Dahlan pernah mengincar perempuan lain, tetapi Thib kelihatannya tidak setuju. Pasalnya, Thib mengetahui perempuan itu sudah memiliki tunangan. Dahlan rela meninggalkan perempuan itu demi persahabatan dengan Thib. Ternyata, Dahlan pun menemukan seorang perempuan yang kini memberinya beberapa seorang anak laki-laki yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis Jiwa dan mampu membahagiakannya.
Begitulah persahabatan mereka yang tidak lekang oleh waktu dan situasi. Saat ujian promosi doktor Dahlan tahun 2013, Thib juga hadir. Ketika September 2019, Dahlan resmi memperoleh SK pengangkatan pada jabatan guru besar, Thib menelepon Rektor UIN Hamdan Juhanis yang belum setahun menggantikan pejabat lama Prof.Dr.Musafir, M.Si.
“Mohon luangkan waktu tanggal 22 Oktober 2019, Dahlan akan dikukuhkan sebagai guru besar,”seru Thib dari Jakarta melalui telepon seperti ditirukan Hamdan Juhanis saat memberikan sambutan.
“Wah..ini perintah,” jawab Hamdan Juhanis waktu itu, mengetahui yang menelepon adalah seniornya yang pernah menjabat pelaksana tugas rektor di perguruan tinggi yang sedang dinakhodainya. (M. Dahlan Abubakar)
https://republiknews.co.id/prof-dr-h-m-dahlan-m-m-ag-dua-bulan-jelang-pensiun/